Thursday, February 16, 2012

cerpen sweet garden





“ Beautiful!”



“ Ha? Apanya yang beautiful ?” lagi-lagi paman menatapku dengan bingung. Duh, apa mungkin aku salah ngomong yah?



The room is beautiful !” sambungku kikuk. Memalukan, masa dari tadi sampai sekarang, aku telah mengucapkan kata beautiful lebih dari puluhan kali. Apa daya, aku kan tidak tahu kosakata bahasa Inggris lain selain beautiful. Itupun aku intip dari kamus.



“ Thanks dear, actually this room is a little bit messy, but I’m glad that you like it.”
Astaga, apa sih yang diomongin paman barusan? Aku sama sekali tidak mengerti, tapi aku juga terlalu malu untuk bertanya ulang. Lebih baik aku berpura-pura ngerti saja.



“ Kalau begitu, kamu istirahat dulu ya. Paman mau kembali ke kantor,” ujar paman akhirnya setelah membantuku memindahkan pakaian koper ke dalam lemari. Hihi, pamanku memang baik sekali. Dia bahkan yang membelikanku tiket pesawat ke Eropa, hanya karena mendengar cerita ayah kalau aku ingin berlibur ke sana. Alhasil, aku mendapatkan liburan gratis selama satu bulan di rumahnya yang besar di Hampshire, Inggris. Asyik banget deh pokoknya, bisa jalan-jalan sekaligus dapat teman baru.



Sangkin bersemangatnya, aku sampai lupa kelemahan terbesarku yakni: tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali! Karena itulah, aku tidak mungkin bisa jalan-jalan ataupun berteman tanpa perantara paman sebagai penerjemah. Tapi aku juga tidak bisa memaksa paman untuk menemaniku terus kan? Huh, jadi gimana dong?



Selagi paman berangkat kerja, akupun memutuskan untuk mengelilingi rumah saja. Rumahnya besar sekali, tampak kuno dengan warna abu-abu serta pilar-pilar besar yang dililiti tanaman merambat. Apalagi halamannya, luasnya sekitar 8000 ekar, terdiri atas hamparan padang rumput di belakang rumah sampai deretan pohon cedar dan danau. Kamar tidurku sendiri berada di lantai dua, dengan suasana yang terang dan lapang, jendelanya bahkan menghadap ke taman mawar yang sangat indah. Untuk mampir ke sana, aku hanya perlu menuruni tangga di balkon kamarku, lalu menapaki jalanan berbatu, dan akhirnya sampai di pagar kuning yang di atasnya bertuliskan SWEET GARDEN.



Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah bangun, berharap paman dapat membawaku jalan-jalan sebentar sebelum mulai bekerja. Sayangnya, sepagi apapun upayaku, pamanku yang sibuk itu sudah duluan pergi ke kantor. Daripada termenung kebosanan, lebih baik aku berkebun saja deh, pikirku. Aku segera mengambil segala perkakas berkebun dari gudang.



Satu minggu telah berlalu. Di akhir pekan, paman sungguh mengajakku ke tempat-tempat seru, ke pantai, ke pasar malam, dan juga tempat nongkrong anak muda; sedangkan di hari biasa, aku tetap ditinggal sendirian. Namun kali ini, aku sama sekali tidak keberatan. Bahkan aku sangat menikmati momen berkebunku di pagi yang cerah, di tengah burung-burung berkicau dan bunga-bunga bermekaran. Aku bisa menyanyi, menari, melompat, sebebas-bebasnya berbaur dengan ketenangan alam.



Rasa damaiku mendadak sirna saat menemukan foto-foto aneh di kotak pos. Puluhan lembar potret diriku yang sedang asyik berkebun! Kok bisa ada sih, siapa yang mengambilnya? Siapa juga yang menaruhnya ke dalam kotak pos? Astaga, ini aneh sekali. Jangan-jangan kerjaan penguntit!



Aku pun semakin berhati-hati. Aku memperketat keamanan, mengembok pintu pagar begitu mobil paman melaju keluar dari halaman serta mengaktifkan alarm yang akan berbunyi setiap orang asing masuk, kecuali paman, Anne si pengurus rumah, dan pengantar susu. Semoga saja cara ini ampuh sehingga si penguntit tidak bisa bertindak sesuka hati lagi. Enak saja dia mencuri privasiku selama ini.



Minggu berikutnya, aku semakin dikejutkan oleh munculnya puluhan foto baru di dalam kotak kos. Kali ini foto-fotonya jauh lebih bervariasi. Dasar, si penguntit semakin melebarkan wilayah kekuasaannya saja! Ia bahkan memotretku saat aku sedang berenang di danau belakang, bermain tenis bersama Anne, tiduran di jaring yang kupasang antar batang pohon, serta pengalaman berkemahku yang pertama di tengah hamparan rumput di bawah sinar rembulan.






Aku tidak bisa menahan emosi lagi, makanya aku mengaduhkan semua peristiwa ini kepada paman. Biar tahu rasa!




Parahnya, pamanku sama sekali tidak terlihat cemas. Bukankah paman selalu baik kepadaku, kenapa sekarang ia hanya senyum-senyum saja mengetahui bahaya datang mengancam diriku? Paman bahkan balik bertanya apakah aku mau berkenalan dengan orang yang telah memotretku secara diam-diam tersebut. “ Tentu saja tidak!” jawabku ketus.



“ Coco, belum pasti dia orang jahat kok. Maybe, he’s just your secret admire.”
Tuh kan, secret admire, entah jenis penjahat apaan. Mungkin julukan untuk tukang potret diam-diam di Inggris ya?



“ Bukan, secret admire artinya adalah pengagum rahasia. I think he has fallen in love with you, cutie.” Paman mencubit hidungku dengan gemes. Auh, sakit banget.






Pengagum rahasia apaan deh! Aku tidak suka caranya yang sembunyi-sembunyi. Aku juga tidak suka digoda paman terus menerus seperti ini. Pokoknya, aku tidak suka laki-laki yang tidak punya keberanian untuk bertemu denganku langsung! Aku harus memberinya pelajaran!



Setelah berpikir keras, akupun mulai menyusun siasat. Baiklah, aku akan memasang
perangkap di halaman setiap jarak 10 meter, sehingga mempermudah untuk menangkapnya. Aku sangat bersemangat sampai-sampai tidak sabar menunggu fajar tiba.



Ketika jam dinding menunjukkan pukul enam, aku langsung bangkit dari tempat tidurku, bergegas mandi, serta siap menunggu sang penguntit di dalam SWEET GARDEN. Aku berpura-pura menyanyi dan menari seperti biasanya supaya tidak menimbulkan keraguan pada penguntit untuk masuk.



Kresek...kresek....



Tidak perlu menunggu lama, aku sudah mendengar bunyi gemerisik semak-semak seperti diinjak seseorang dari arah sampingku. Aku sampai rela jongkok demi mengintipnya. Haha, kini aku bisa melihat bagian belakang tubuhnya. Ia adalah seorang pria tinggi berkemeja abu-abu. Lengan kemejanya dilipat sampai ke bagian pangkal, dan ia mengenakan helm usang. Ugh, kenapa sih dia terus memunggungiku, padahal aku kan penasaran sekali untuk melihat wajahnya. Tangannya juga terus sibuk memencet sesuatu, sepertinya dia sedang memotret bunga mawar yang kutanam sendiri. Untuk apa sih?



Terlalu penasaran, aku pun meraih remote dari saku pakaian dan menekan tombol on. Seketika itu juga, seluruh selang di halaman yang kupasang tiap lima meter menembakkan air yang deras ke arahnya. Sesuai dugaanku, ia sangat terkejut serta berusaha melarikan diri. Kini tiba saatnya untukku menangkapnya. Hiat!



“ Hei, tunggu dulu!”



Akan tetapi, ia berlari menembus air dengan cepat sekali. Meskipun jarak kami sudah cukup dekat, aku tidak sanggup menangkapnya. Pada cara terakhir, aku memutuskan untuk meloncat ke punggungnya saja seperti seekor monyet gila.



“ Kya!!!” jeritku begitu aku nyangkut di punggungnya yang tampak kuat dan lebar.
Sangkin terkejutnya, ia menjadi kehilangan keseimbangan dan jatuh tersungkur ke belakang, otomatis menimpaku. Rasanya seperti ditimpa tiang listrik yang mematikan.



“ I’m sorry,” gumamnya panik. Begitu ia berbalik untuk menengoki keadaanku, kedua pasang mata kami bertemu untuk pertama kalinya. Dan kusadari, ia sama sekali berbeda dengan khayalanku. Ia bukan om-om genit yang kurang kerjaan melainkan seorang pemuda bule yang tampan sekali! Matanya biru mengkilat dan rambutnya pirang. Poninya yang ikal jatuh tepat di atas alisnya yang tebal, dan kerennya, kami sedang berada pada jarak dekat sampai-sampai aku bisa merasakan debaran jantungnya yang kacau. Oh tidak, ia pasti sangat ketakutan. Debaran ini telah melebihi batas normal.



Aku jadi kasihan padanya, maka aku memutuskan untuk melepaskannya saja. Secret admireku ternyata terlalu malu untuk berkenalan langsung padaku. Lihatlah, ia sampai berlari terbirit-birit kembali ke vespanya yang penuh dengan angkutan botol susu, dan menancap gas.



Semalaman itu aku tidak tidur. Aku terus memikirkan pertemuan kami yang manis. Aku masih ingat debaran jantungnya di telapak tangan kiriku. Bisa dibilang, aku tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Aku lantas meloncat turun dari tempat tidurku dan membuka laci, mengeluarkan foto-foto yang diambilnya selama ini.






Sebenarnya, ia tidak pernah melakukan hal yang buruk padaku kok. Dia bahkan adalah fotografer paling ahli yang pernah kutemui, yang mampu menangkap ekspresi kegembiraanku di setiap lembarnya.



Baiklah, kalau memang dia terlalu malu, biar aku saja yang mendekatkan diri padanya. Selanjutnya aku terus memasang trik ampuh. Misalnya hari ini, aku sengaja melatih anjing pitbull paman untuk mengejarnya begitu ia masuk ke halaman dan menaruhkan botol susu, lalu rantai anjing akan melilit kakinya sehingga ia tidak bisa bergerak lagi. Tentu saja di saat yang pas, aku muncul di hadapannya, berpura-pura tidak tahu, serta membukakan rantai tersebut sembari berkenalan padanya. Hihi.






Namanya Mike Dawton, umurnya 17 tahun sama sepertiku. Sesungguhnya ia masih ada memberikan keterangan lebih mengenai dirinya, hanya saja aku tidak mengerti bahasa Inggrisnya yang terlalu cepat.



Semenjak hari pengikatan rantai tali di kakinya, Mike berubah menjadi lebih berani. Setidaknya ia tahu kalau aku tidak segalak anjing pitbull paman, dan ia mau tersenyum padaku saat meletakkan botol susu setiap paginya. Di sisi lain, aku juga sering mengundangnya untuk berkebun bersama. Dari beraktivitas, kami bisa menemukan banyak persamaan: kami sama-sama pecinta tanaman, penyuka sarapan susu campur donut, dan petualang sejati.



Satu bulan berlalu dengan sangat cepat. Tanpa terasa, beberapa menit lagi, aku harus menaiki pesawat meninggalkan wilayah Hampshire tercinta. Namun aku tidak bisa menaiki pesawat begitu saja sebelum membuat janji setia dengan Mike.



“ Baiklah, paman biarkan kalian ngobrol berdua saja. Paman pulang dulu ya, Coco. Take care,” ujar paman penuh pengertian, lalu ia mengecup keningku, dan entah kenapa, menepuk bahu Mike seakan memberikan semangat padanya. Mungkin saja karena wajah Mike sudah kelewat muram hari ini.



I’m too sad to let you go, my dear Coco. Could you just stay here longer?” ia meremas erat kedua tanganku. Seperti biasa, jemarinya basah.



Aku menggeleng lemas, hampir saja menangis. Aku harus kembali sekolah, Mike, gumamku, tapi tidak tahu cara menerjemahkannya ke bahasa Inggris.



“But, we still can be best friend, right? We should contact each other everyday by phone, okay? And I’ll visit you in Indonesia next year.” Pandangan mata Mike yang indah menembus tepat ke hatiku. Meskipun secara pendengaran tidak ngerti, tapi secara penglihatan aku ngerti kok maksud perkataanya.



Promise me that you won’t forget me!” tanpa ragu-ragu, aku langsung meloncat ke dalam pelukannya, dan menangis tersedu-sedu di sana. “ Also promise me that you’ll take care of our Sweet Garden.”



Aku telah menghapal mati kedua kalimat itu semalaman supaya tidak ada yang kelupaan ataupun terdengar salah. Ya, aku memang ingin Mike merawat halaman tempat kami bertemu dengan sebaik-baiknya. Aku rela kalau yang menggantikan posisi berkebunku adalah dia, bukan orang lain. Aku dan dia memang ditakdirkan sebagai pemilik seluruh bunga cinta di Sweet Garden.



“ Of course I will...” bisik Mike lembut sekali. Seketika itu juga, hatiku menjadi lebih tenang. Aku lebih siap meninggalkan Hampshire, dengan harapan kelak dapat segera kembali lagi. Sampai jumpa Mike! Sampai jumpa Sweet Garden!



Beberapa bulan kemudian, aku mendapat kiriman paket liburan gratis lagi dari paman. Kali ini liburan tiga bulan penuh.
___SELESAI ___

No comments:

Post a Comment