Thursday, February 16, 2012

cerpen Angsa Putih

Hai ! Namaku Kelly. Kebanyakan orang mengenalku sebagai penari ballet yang paling payah, yang paling tidak bisa menari, dan yang paling ceroboh. Lantas, kenapa aku bersikeras untuk tetap menari? Jawabannya adalah…karena aku mencintai kegiatan ini dengan sepenuh hati. Perasaannya sama persis seperti bagaimana aku mencintai pacar pertamaku. Oh, ngomong-ngomong tentang pacar pertamaku, aku masih mengingat semuanya dengan jelas. Pertemuan indah itu…


Saat itu aku masih seorang gadis kecil yang sangat polos. Maklumlah, baru kelas satu SMP. Dunia 13 tahun merupakan dunia yang menarik, membuatku dan anak-anak 13 tahun lainnya seakan tersihir dalam kebahagiaan sempurna. Sampai suatu hari, aku mengalami sesuatu yang sudah sering menjadi bahan imajinasi kami. Aku…jatuh cinta pada pandangan pertama!


Cowok yang sempat mengetuk pintu hatiku itu bernama Steven. Dia tampannn sekali, membuat wajahku merona merah tiap berpapasan dengannya. Meski dia kakak kelasku yang jauh lebih senior (kelas 3 SMA) dan meskipun aku tidak mengenalnya sama sekali, aku tetap suka. Aku masih ingat susunan wajahnya yang selalu muncul dalam mimpi tidurku; matanya yang memancarkan kecerdasan, tulang hidungnya yang tinggi, serta raut-raut tegas di wajahnya.


Setiap hari, aku mulai mengamatinya dan sadar kalau aku sangat sangat menyukainya tanpa ada sebab yang jelas. Bahkan aku tidak tahan lagi untuk menyatakan perasaanku padanya. Maka, pada tanggal 14 Febuari lima tahun lalu, aku menyodorkan sebatang coklat beserta puisi romantis yang kucuri dari buku Peer kakakku.


Kalau dikenang sekarang, rasanya memang konyol. Namun tak bisa diutarakan lagi deh bagaimana tegangnya perasaanku pada detik-detik pernyataan tersebut. Aku sudah memikirkan segala kemungkinan yang bakal terjadi, sampai kemungkinan terburukpun, yaitu ditolaknya. Aku bahkan telah melatih diri untuk tidak segera menangis di depannya bila dia mengata-ngataiku, meski aku tidak yakin aku sanggup.


Siapa sangka, Hari Valentine memang merupakan hari cintaku. Pertama-tama, ia jadi bengong karena terkejut. Namun beberapa detik kemudian, ia tersenyum dan menerimanya, menjadikanku seperti roket panas yang siap meluncur ke luar angkasa. Asyik!!!


Setelah memastikan dia benar-benar menyimpan coklatku di ranselnya, aku berlari pergi tanpa berkata apapun. Aku senang, bercampur rasa malu yang luar biasa. Lain kali, bila aku berjumpa dengannya lagi, berarti dia sudah mengenalku dong? Berarti dia sudah tahu aku menyukainya dong? Ih…maluuuuuuuu!


Pada sore hari yang sulit ditebak akan terjadi apa, turunlah hujan yang deras. Aku lupa membawa payung, sehingga aku tidak bisa segera pulang. Aku menunggu dan terus menunggu hujan yang tak kunjung reda, sambil mengingat-ingat kembali peristiwa penyerahan coklat tadi. Steven…apakah setelah membaca puisiku dan memakan batang coklatku, kamu akan menyukaiku? Apakah rasa cintaku akan terbalaskan? Hm…


“ Rumah kamu dimana?”


Aku menengadah untuk melihat orang yang bertanya kepadaku barusan. Dan…astaga! Dia Steven! Kenapa dia hebat sekali, bisa muncul dalam pikiranku dan muncul di hadapanku di saat yang bersamaan?


Dengan terpatah-patah, aku memberitahukan alamat rumahku.


“ Oh…disana. Ayo, kuantar pulang!”


Dia menyuruhku mendekat ke sisinya untuk berbagi payung dengannya, membuatku senang sekali! Sepanjang perjalanan, kami tidak banyak berbicara. Ada dua alasan. Pertama, kudapati Steven orangnya memang pendiam. Kedua, hujan turun semakin deras, membuat kami harus berkonsentrasi saat berjalan. Tapi tidak apa-apa. Aku tetap senang dan bersyukur!


Keesokan harinya, aku tidak masuk sekolah karena terserang demam. Ibuku bilang pasti karena kehujanan kemarin. Tapi menurut pendapatku sendiri, aku demam pasti karena aku terlalu bahagia. Pasti karena aku terlalu bersemangat.


Lagi-lagi satu hal yang diluar dugaan terjadi padaku. Karena sakit, aku melanjutkan tidurku. Kerennya, di saat aku bangun, Steven sudah ada disampingku. Dia sudah datang dari tadi, hanya saja dia tidak tega membangunkanku. Pantas tidurku nyenyak sekali, rupanya ditemani oleh ‘si dia’ !


Steven bilang dia tidak melihatku di sekolah hari ini, maka dia khawatir apakah aku jatuh sakit. Dia hapal alamat rumahku, dan dia langsung menjengukku sepulang sekolah. Mendengar kata-katanya, aku sangat terharu. Aku tidak tahu apakah aku yang terlalu geer atau memang benar… kalau dia perhatian padaku.


Tiga jam berlalu. Steven terus menemaniku. Kami ngobrol lebih banyak dibanding saat hujan kemarin…dan aku jadi lebih banyak mengenalnya. Dia sangat baik, terus mengupasiku buah-buahan, menyuapiku bubur, dan mengkompres keningku dengan air dingin. Dia selalu memperlakukanku seperti anak kecil. Setiap aku membuatnya tertawa, dia akan mengelus-elus kepalaku. Dia juga terus membetulkan letak selimutku bila aku bergerak sedikit saja.


Sebelum dia pulang, aku memberanikan diri untuk mengajaknya berkencan, tapi secara tersirat. Aku tidak memberitahu langsung kepadanya kalau itu ajakan kencan, aku hanya bertanya apakah dia ada waktu Sabtu ini untuk menemaniku bermain di pantai. Dengan mudahnya, dia mengangguk, sambil bercanda,” Asal kamu sudah baikan. Aku tidak mau loh menemani orang sakit bermain ke pantai!”


Hari Sabtunya, aku benar-benar sembuh, dan benar-benar pergi ke pantai bersamanya. Kami menggelar tikar, berenang bersama, bermain pasir, dan makan seafood yang lezat.




Lalu, dalam perjalanan pulang, kami tertidur bersama, dengan kepala menimpa satu sama lain. Seingatku, saat itu aku tidak tidur. Aku hanya pura-pura tidur supaya Steven nyaman menaruh kepalanya di kepalaku. Jika tidak, dia pasti segan. Hihi. Sampai sekarang, dia tidak sadar loh kalau aku berpura-pura.


Kami semakin sering bersama, dan semakin akrab, tanpa status yang jelas. Dia tidak pernah bilang kalau dia pacarku atau apa. Dan akupun hanya memanggilnya Kakak. Padahal, aku ingin sekali tahu bagaimana perasaannya terhadapku. Kebanyakan teman-temanku yang berpacaran pasti tampak mesra. Sedangkan aku, hanya diperlakukan selayaknya anak kecil. Apakah aku memang seorang anak kecil di matanya? Apakah dia tidak tahu, betapa aku ingin segera tumbuh menjadi gadis dewasa agar setara dengannya?


Yang membuatku tidak tahan adalah kemunculan dua gadis jahat dalam hubungan kami. Yah, mereka jahat karena mereka menyukai Steven dan berusaha merebutnya dariku. Mereka teman sekelas Steven, yang berarti mereka seusia dengannya. Mereka lebih dewasa dibandingkanku. Dan aku benci sekali untuk mengakui kalau mereka terlihat lebih cocok jalan bareng Steven. Steven juga menyebalkan! Kenapa dia selalu terlihat ceria saat ngobrol dengan mereka? Kenapa keceriaan Steven kini menjadi milik mereka, bukan milikku lagi?


Merasa kalah, aku mulai menjauh dari Steven. Aku tidak lagi mengekorinya seperti dulu. Aku merasa, aku tidaklah berarti untuknya. Mungkin, dia hanya kasihan padaku, telah begitu berani memberikannya coklat, dan dia hanya menghargai usahaku.


Steven menyadari perubahan sikapku. Berkali-kali dia menemuiku, tapi selalu kutolak. Lalu suatu hari, dia nekat menungguiku terus. Dari pagi sampai malam, dia berdiri di depan rumahku. Aku sampai tidak tega dan keluar menemuinya. Steven tahu aku membohonginya dengan beribu alasan. Dia memaksaku untuk berkata jujur. Akhirnya, aku mencurahkan seluruh kecemasan hatiku padanya. Sambil menangis, kukatakan betapa aku berharap adanya hubungan yang jelas di antara kami berdua.


Dengan tatapan lembut, dia mendengar semuanya. Kemudian, dia mengeluarkan saputangan, membantu menyeka air mataku yang terus bercucuran. Dan secara tegas ia menjelaskan padaku,” Kelly..di saat aku datang menjengukmu, ibumu telah memperingatkanku bahwa kamu baru diizinkan berpacaran setelah berumur 20 tahun. Aku menghormatimu ibumu, maka aku tidak mau melawannya. Kamu masih 13..”


Ha? Benarkah karena ibu? Ternyata ibu diam-diam telah memperingatinya. Tapi…aku masih penasaran, apakah itu hanya alasan semata? Apakah tanpa peringatan ibuku, dia mau memacariku?


“ Tidak…”


Eh? Dia menjawab tidak? J…jahat! Sungguh jahat!


“ Karena aku sendiri merasa kamu masih belum siap. Aku suka padamu, tapi aku tidak mau membebanimu dengan perasaan itu. Belum saatnya, Kelly..”


“ Tapi 20 tahun masih lama sekali! Aku tidak mau menunggu selama itu!”


“ Hm..kudiskon sampai…kamu sudah cukup dewasa untuk kupacari. Jadi, selagi kamu menuju tahap dewasamu, hubungan kita tetap seperti dulu.”


Baiklah, hubungan kami kembali seperti dulu. Dalam mengisi hari-hari menuju kedewasaanku, Steven mengajariku banyak sekali hal yang belum pernah kusadari sebelumnya.


Pada dasarnya, kami berasal dari latar belakang yang jauh berbeda. Dia sudah kehilangan sosok ayahnya sebelum ia lahir, sedangkan aku sangat dimanja orangtuaku. Maka, aku tidak pernah mengerti arti menjadi mandiri dan bertanggungjawab. Ia terbiasa mencari uang sendiri, sedangkan aku kelewat boros.




Dengan adanya perbedaan-perbedaan itu, aku telah banyak mengintropeksi diri.


Waktu berlalu dengan cepat. Saat itu, dia akan segera tamat. Aku sangat sedih kehilangan dirinya. Aku ingin memberikannya sesuatu yang berarti, yang bisa mengingatkannya pada diriku. Aku tahu, ia tidak suka dibelikan barang-barang mewah, maka aku memutuskan untuk melukisnya saja.




Aku memoles kanvas dengan raut-raut wajah tegasnya, dan menggunakan warna paling pas untuk sorot matanya. Aku tidak hanya melukis wajahnya, namun keseluruhan dirinya yang sedang mengenakan seragam biru polisi. Aku tahu, menjadi polisi yang bisa menciptakan keadilan adalah impian terbesar dalam hidupnya, seperti aku mengimpikan menjadi penari ballet handal.


Steven tampak terharu saat menerima kado perpisahanku. Dia bilang itu adalah kado terindah yang pernah ia dapatkan, kado yang menampakan dirinya dalam masa mendatang. Ia menyalamiku dan berjanji untuk muncul kembali padaku di saat ia benar-benar mengenakan seragam itu.


Semenjak momen itu, kami tidak pernah bertemu lagi, juga tidak pernah saling kontak lagi akibat kesibukan masing-masing. Diam-diam aku merindukannya dan berharap: semoga saja, suatu hari nanti ia akan datang untuk menepati janjinya…semoga saja, dia masih ingat janjinya…


“ Kelly, bukan begitu gerakannya! Kenapa sih hari ini kamu tidak serius?!”


Aduh, aku bukannya tidak serius, bu guru. Aku juga kecewa terhadap diriku sendiri.




Masa setelah berlatih sebulan penuh, aku mendadak gugup dan lupa segalanya. Padahal, aku yang memilih tarian angsa putih tersebut, yang menurutku amatlah romantis. Gerakan ini seharusnya mampu menunjukkan ekspresi angsa putih yang telah tumbuh dewasa, sekilas cemerlang dalam kecantikannya, namun di dalam hatinya terpendam kerinduan, kenangan, dan harapan. .


“ Kelly, giliranmu! Ayo, keluarlah, dan jadilah yang terbaik! “


Aku berusaha untuk tetap tenang selama dituntun bu guru menuju atas panggung.




Hari ini diadakan lomba ballet antarsekolah. Aku ingin menang. Tapi, aku tidak bisa mengendalikan ketakutanku. Jantungku berdegup terlalu kencang, membuatku kehilangan emosi menari. Lubuk hati terdalamku terus memanggil nama Steven. Aku ingin dia datang menyaksikan tarian ini, menyemangatiku. Kalau saja dia datang, aku pasti bisa. Karena aku adalah seekor angsa putih, yang menunggu, menunggu dan terus menunggu sang belahan hati untuk datang menjemput.


Dan…aku melihatnya! Aku tidak percaya! Aku melihat Steven duduk di bangku penonton paling depan, ia mengenakan seragam biru polisi! Dia tersenyum padaku.




Dia melambai-lambaikan tangannya padaku. Dia membuatku menari dengan sangat baik malam itu, melebihi penampilan manapun selama ini. Dia benar-benar telah menjadikanku sebagai angsa putih primadonanya!


Karena kehadirannya, aku mampu memenangkan perlombaan ini. Ibu guru saja tidak menyangka. Ibu guru dan teman-teman lain terus menerus mengucapkan selamat kepadaku. Namun, di tengah ucapan selamat mereka, aku mengharapkan sesuatu.




Aku mengharapkan…orang itu…datang mengucapkan selamat padaku secara langsung.


DRIET…


Suara pintu berderit di belakangku. Aku yang sedang sibuk melepaskan hiasan rambutpun bela-belain untuk menoleh, “ Steven!”


Sambil tersenyum kecil, Steven masuk, dan menutup pintu kamar rias kembali. Tangannya memeluk seikat bunga mawar yang romantis. Wah! Steven memang sudah banyak berubah. Dulu, dia tidak pernah seperti ini.


Kelly selamat yah! Aku bangga padamu!”


Ia menyerahkan bunga yang dibawanya ke genggamanku. Sebaliknya, ia mengambil sisir yang sedang kupegang, dan menyisir rambutku. Sentuhan tangannya…sungguh lembut di kepalaku. Setiap helai rambutku-pun turut merasakan ketulusan hatinya…


“ Steven, tahu tidak, tarianku tadi sengaja kupersembahkan untukmu! Angsa putih yang jatuh cinta. Angsa putihnya adalah aku. Orang yang dicintainya adalah kamu..”


Lagi-lagi aku memberanikan diri, seperti enam tahun yang lalu Setelah mengucapkannya, aku kembali malu. Bagaimana ini? Berarti dia sudah tahu semuanya..


Wajahnya semakin mendekat. Kedua matanya bahkan tepat memandang ke dalam jendela jiwaku. Suaranya pelan seperti bisikan yang berhembus, “ Angsa putih…apakah dia sudah cukup umur untuk kupacari?”


“ Sudah! Tahun ini, angsa putih sudah 18 tahun!”


“ Benarkah begitu?” Wajahnya semakin mendekat lagi dan kurasakan bibirnya menyentuh bibirku..


Akhirnya setelah enam tahun menunggu, angsa putih bisa resmi berpacaran dengan


pangerannya! Hihi..

__TAMAT__



Cerpen Dentingan Piano




“Aurel? Kamu melamun yah?”


Suara ibu guru barusan mengagetkanku. Aku tersadar kalau aku masih berada di ruangan kelas. Aku sedang belajar bermain piano di bawah bimbingan Ibu Siska. Ibu Siska adalah guru yang paling berpengalaman di sekolah musik ini. Banyak anak didiknya yang berprestasi dalam ajang kompetisi musik, baik yang nasional maupun internasional. Aku juga ingin berprestasi, makanya aku harus belajar dengan giat.


“ Ibu perhatikan, kamu sering melamun. Apa yang kamu pikirkan?”


Aku menggeleng, lalu lanjut mendengarkan penjelasan Ibu Siska. Hari ini Ibu Siska memberikanku PR. Untuk pertemuan selanjutnya, aku harus sanggup memainkan mahakarya Bach ini. Tampaknya susah, namun melodinya indah sekali. Aku harus bisa. Bukankah demi lagu ini aku telah berjuang belajar piano? Belajar dari awal, belajar membaca not balok, belajar menyesuaikan tempo, belajar menyelami melodi lagu, sampai akhirnya ke lagu ini.


Setelah menyimpan buku-bukuku ke dalam tas, aku pun membulatkan tekad untuk langsung berlatih sepulang dari sini, dan aku benar-benar melakukannya. Setiba di rumah, aku duduk di depan pianoku. Aku membelai permukaannya yang licin. Aku membukanya, menaruh pergelangan tanganku di atas tuts hitam putih. Mataku berkaca-kaca.




Disinilah aku selalu terharu mengenang Claudia. Claudia, aku sangat merindukanmu. Aku tahu kamu sedang bekerja keras demi meraih impianmu. Disini, di bangku ini juga, aku mendoakanmu. Semoga kamu bisa menjadi pemain piano yang hebat, pemain piano yang menghasilkan nada-nada yang menyentuh perasaan semua pendengar. Aku yakin kamu bisa, karena sebelumnya, kamu telah berhasil membuatku tersentuh dengan lagu kesukaanmu, lagu yang kini sedang kupelajari.


Claudia adalah salah seorang sepupuku. Kami seumur, tetapi jarang bertemu. Rumahnya jauh dari rumahku. Lagipula, entahlah, dulu aku selalu merasa malas untuk bergaul dengannya. Mengapa? Setelah kupikir-pikir, mungkin karena gengsiku.




Karena dia berbeda, karena dia buta. Meski rupanya cantik sekali, apalagi kedua bola matanya yang teduh dan indah, dia terlahir buta. Dia tidak pernah melihat dunia.




Tidak seru, tidak ada yang bisa diobrolkan dengannya. Pasti dunia terasa gelap baginya, pasti dirinya sangat membosankan. Itu jelas anggapan yang salah, sampai suatu hari aku benar-benar mengenalnya.
Liburan panjang tahun lalu, aku cemberut berat. Aku kesal atas keputusan orangtuaku yang pergi berlibur bersama orangtua Claudia ke luar negeri tanpa mengajakku. Malahan, mereka mengundang Claudia tinggal di rumahku agar ada yang menemaniku. Aku tahu ini hal yang disengaja. Mereka hanya ingin aku dekat dengan Claudia.


Pertemuan pertama dengannya setelah beberapa tahun tidak bertemu, sudah membuatku malas. Lihatlah, sekarang dia sudah remaja, sama sepertiku. Dan...harus kuakui, dia jauh lebih cantik dibanding diriku. Apalagi kedua bola matanya yang buta.




Tiap kupandang matanya, timbul rasa iri. Dia kan buta, untuk apa dia memiliki mata seindah itu? Kenapa Tuhan tidak berikan saja mata itu kepadaku? Aku pasti sangat bangga memilikinya, menggunakan mata itu untuk tampil percaya diri di hadapan orang-orang. Kalau dia yang buta, kan tidak apa-apa memiliki mata yang biasa saja, toh dia tidak bisa melihat.


Kudapati bahwa dia sangat baik. Masa baru bertemu saja, dia langsung memelukku. Dia membuatku berpikir, apakah aku bisa sebaik dirinya? Tidak, aku pasti akan jahat padanya, sebab aku adalah jenis orang yang tidak bisa menahan rasa iri. Aku mempunyai tabiat egois, layaknya seorang anak tunggal. Dia bisa saja menangis karena ulahku.


Malam harinya, penghuni rumah hanya tersisa kami berdua. Aku tidak berminat mendekatinya, lebih memilih untuk membaca komik saja. Akan tetapi, dia sendiri yang mendekatiku. Dia mengetuk pintu kamarku.


Sambil mendecak sebal, aku pun membukakannya. Tidak kusangka, dia membawakanku cemilan! Cemilan buatannya sendiri sangat lezat sampai-sampai aku melahap habis semua, dan dia terkekeh-kekeh. Astaga! Dia punya lesung pipi yang manis. Aku iri. Aku kan selalu menginginkan lesung pipi. Dan dia, si buta yang bahkan tak pernah melihat wajahnya sendiri, memilikinya!


Hari kedua. Aku terbangun sekitar pukul tujuh, sepagi itu, dikarenakan suara dentingan piano. Aku mencari dari mana asal alunan nada lembut yang sedikit menggugah hatiku. Sudah lama tidak mendengarkan ketenangan yang klasik.




Ternyata Claudia yang memainkannya. Kudapati dia sedang duduk di atas bangku yang kududuki sekarang, masih tetap buta, tapi luar biasa. Bagaimana bisa seorang yang buta sejak lahir begitu mahir melontarkan jemarinya di atas tuts? Lalu, rasa iripun muncul kembali. Kenapa dia bisa? Kenapa aku tidak? Kenapa semuanya begitu tidak adil? Kenapa seakan-akan segala kelebihan ada padanya, tidak padaku?


Menyadari aku sudah bangun, Claudia berhenti memainkan lagu itu dan tersenyum padaku. Ia berjalan ke arah meja makan, dituntutun tongkat panjang yang selalu dibawanya.


“ Selamat pagi Aurel. Aku sudah membuatkan sarapan tapi entah sesuai
seleramu atau tidak.”
Sarapan! Dia membuatkan sarapan yang amat membangkitkan seleraku. Sudah kuduga, dia pintar memasak.


“ Claudia, kenapa sih, kamu selalu bisa.”
Aku tidak percaya, aku telah mengucapkannya. Baiklah, karena sudah terlanjur, biar kucurahkan saja semua pemikiranku.


“ Kamu kan buta, tapi kamu kok bisa memasak, bisa main piano, bisa melakukan pekerjaan rumah lainnya, bahkan bisa merangkai bunga? Apakah hal itu tidak sulit bagi orang buta sepertimu?”


Aku kira dia akan segera menangis pagi itu juga. Nyatanya tidak. Lagi-lagi ia memberiku senyuman sambil tersipu malu,” Justru karena sulit, aku selalu berusaha tiga kali lebih keras daripada orang lain. Dengan begitu, aku bisa menjadi lebih baik dari kemampuanku yang sebenarnya.”


Beberapa hari berlalu. Aku menjadi terbiasa dibangunkan dengan dentingan piano yang merdu. Aku terbiasa menikmati sarapan pagi buatannya yang bergizi. Aku terbiasa mendengar optimisme dalam setiap perkataannya. Aku terbiasa dengan kehadirannya, bukan berarti aku sudah menerimanya. Terkadang, aku kelepasan ngobrol dengannya, bahkan tertawa bersamanya. Jangan salah, suasana seperti itu hanya berlangsung sesaat. Perasaan lama cenderung muncul kembali. Rasa iri membuatku sebal lagi padanya. Rasa gengsi membuatku lebih menahan diri darinya.




Aku mulai menciptakan jurang pemisah antara aku dan dia. Hasilnya, kami kembali seperti awal.


Sampai suatu hari, emosiku benar-benar meledak, saat kutemukan dirinya dan Samuel. Kenapa Samuel bisa ada disini, di dalam rumahku? Kenapa Samuel terlihat begitu antusias, begitu senang, saat berbicara dengannya? Bahkan banyak adegan tertawa. Hatiku sakit, bagaikan teriris silet. Aku tak mau menyaksikan pemandangan kejam itu. Samuel tidak seharusnya duduk di samping si buta. Samuel tidak seharusnya melirik perempuan buta, sebab aku...aku yang selama ini menyukainya.




Meskipun Samuel tidak mengenalku, tapi aku mengenalnya. Aku menyukainya sejak awal. Aku yang selalu mengharapkannya. Bukan Claudia! Curang sekali dia! Mentang-mentang dia cantik dan menarik, ia mau merebut semuanya dariku!


Timbul kebencian, seperti percikan api yang membesar, membesar, dan membesar, sampai berkobar-kobar. Sesudah memastikan Samuel telah pergi, aku menghampiri Claudia. Aku merebut tongkatnya, dan menyimpannya di tempat yang tidak mampu dirabanya. Aku mendorongnya sampai jatuh. Aku menyindirnya. Aku membuang jatah makanannya setelah perutku sendiri kenyang (padahal itu masakannya). Yang paling parah, aku mengunci kamar belajarku. Dia tidak bisa lagi masuk untuk memainkan lagu kesukaannya. Aku puas. Ia layak diperlakukan begitu. Aku punya alasan mengapa aku jahat; karena dia telah merebut Samuelku. Makin lama, aku makin mirip para antagonis dalam cerita Cinderella. Tentu, dialah Cinderellanya.


Claudia memang merasakan perubahan dalam diriku. Dia begitu menderita, tapi dia tidak pernah marah padaku. Dia tidak mengeluh. Dia tetap berusaha baik padaku, tetap masak untukku, tetap meyapaku, tetap tersenyum padaku. Di saat aku ragu akan tindakanku, Samuel malah datang. Saat aku yang membukakan pintu, ia malah menanyakan keberadaan Claudia, bukan menanyakanku. Diam-diam aku mengamati mereka berdua. Percakapan mereka tidak terdengar, namun aku melihat tanda bahaya. Apakah mereka akan jatuh cinta? Atau sudah mengalaminya? Astaga, aku benci Claudia! Aku benci!


Semakin hari aku semakin jahat. Aku tidak mau lagi mempertimbangkan untuk lebih baik padanya, ataupun untuk memaafkannya. Jelas-jelas dia merebut Samuel dariku. Harusnya dia sadar, dia itu buta, tidak cocok untuk Samuelku. Meski dia cantik, gadis buta tetaplah gadis buta. Atau jangan-jangan... karena banyak orang yang memujinya, ia jadi tinggi hati dan lupa keadaannya sendiri? Dia lupa kalau dia mempunyai kekurangan ; kalau dia cacat? Baiklah, kalau memang begitu, akan kuingatkan dirinya.




Siasatku adalah pura-pura baik padanya, agar ia mau menerima ajakanku ke sebuah tempat yang menakutkan, ke tempat jauh yang belum pernah didatanginya. Lalu, aku berakting seakan hendak ke WC dan menyuruhnya menungguiku. Ia menggandeng tanganku erat, berkata dia akan menungguiku, sebab dia takut, sebab ini tempat yang tisak dikenalinya, sebab bisa saja ia tersesat sendirian. Padahal, itulah tujuanku yang sebenarnya!


Aku meninggalkannya, di saat dia menungguiku. Aku tiba di rumah, mandi dan mengenakan piyama. Setelah itu, pandanganku menerawang keluar jendela. Langit telah gelap. Kira-kira apa yang dilakukannya? Terus berdiri dan menunggu? Ataukah mulai menyadari kenyataan?


Perutku mendadak lapar. Aku melongok ke lemari. Biasanya ada makanan sedap buatan Claudia. Kali ini, tentu saja tidak ada. Dia kan belum pulang. Merasa hebat tanpa dirinya, aku pun menelepon jasa pengiriman makanan. Makanan akan tiba setengah jam lagi.


Aku duduk, bertopang dagu, menunggu makananku. Rumahku sepi. Tidak ada papa dan mama memang sepi. Namun biasanya, dengan adanya Claudia tidak begitu sepi. Malam ini sepi kembali. Tidak ada dentingan piano. Ah, kenapa aku terus menerus memikirkannya? Dia itu yang duluan jahat, dia pengkhianat! Kalau aku memang suka lagu yang ia mainkan, aku kan bisa membeli kaset dan mendengarkan permainan yang lebih hebat dari para pemain piano terkenal! Yah, besok kubeli.
Di luar rencana, turunlah hujan yang deras. Claudia di saat hujan, apakah akan terus menungguiku? Kalaupun tidak, dia kan buta, pasti dia tidak bisa kemana-mana tanpa tongkatnya. Aku yang di rumah saja merasa kedinginan, dia yang basah kuyup pasti jauh lebih kedinginan. Aku lapar, dia juga pasti lapar. Aku kesepian, jangankan dirinya yang sendirian .


Aneh! Kenapa terlintas ide di kepalaku untuk segera menjemputnya kembali? Hei, kan aku yang meninggalkannya, kenapa aku yang harus menjemputnya? Biarkan saja dia sendirian. Ini hukuman yang pantas untuknya!


Tapi...hatiku terus berkata bahwa ini sudah keterlaluan, terlalu kasihan untuk Claudia, sepupuku sendiri. Lagian, kalau kutinggalkan dia terus, lantas dia hilang diculik orang, bagaimana aku mempertanggungjawabkannya dengan paman dan bibi? Benar, aku rasa demi kebaikan diriku sendiri, aku harus membawanya pulang ke rumah.


Selama perjalanan, aku terus mengingatkan diriku bahwa apa yang kulakukan ini bukan karena aku sudah berubah menjadi baik. Aku belum sadar bahwa aku sudah telanjur sayang padanya. Aku tidak tahu jika perasaan itu adalah kerinduan. Aku terus meyakinkan diri kalau aku yang egois ini tidak mungkin menjadi baik dan mudah iba dengan orang lain. Hanya saja karena aku takut paman dan bibi, aku membawa Claudia pulang kembali. Ya, alasan yang cukup kuat.


Di tengah derasnya hujan, samar-samar aku mendapati keberadaan Claudia. Claudia yang tetap berdiri, Claudia yang menangis, Claudia yang tak berdaya. Belum pernah aku melihat dia seperti itu. Biasanya dia kan si buta yang hebat..
Mendadak aku teringat dengan perkataannya kemarin, “ Justru karena sulit, aku selalu berusaha tiga kali lebih keras daripada orang lain. Dengan begitu, aku bisa menjadi lebih baik dari kemampuanku yang sebenarnya.”


Claudia bukan lupa dan terbuai pujian orang, Claudia selama ini tetap sadar akan kekurangannya, makanya dia berusaha keras. Berusaha sampai berkali-kali lipat dari usaha orang lain, demi menjadi orang yang lebih baik.


Kenapa aku tidak pernah seperti dia? Tanpa berusaha, aku sudah mengaku kalah.




Setelah kalah tanpa berperang, aku mulai cemburuan. Orang yang kucemburui selalu mendapat perlakuan yang buruk dariku. Padahal orang itu tidak bersalah. Kenapa orang yang sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencapai keberhasilannya harus kucemburui?


Tiba-tiba, setumpuk pertanyaan berputar-putar di otakku. Kenapa aku harus cemburu? Kenapa aku tidak pernah berusaha? Kenapa aku bisa begitu tega? Kenapa aku begini?


Aku jadi malas memikirkannya. Aku merasa, aku pasti bukan sedang menyesal. Aku hanya...hanya terbuai suasana. Claudia yang terlalu kasihan dan bodoh, membuatku sedikit ‘kasihan’. Hanya itu.


“ Aurel, kaukah itu? ”


Aneh. Aku kan belum sempat berkata apa-apa, masa mendengar langkah kakiku saja, Claudia sudah bisa menebak, sudah bisa tersenyum lega. Seyakin itukah Claudia padaku, kalau aku benar-benar datang kembali? Tidakkah ia curiga ini langkah kaki orang lain, misalnya langkah kaki penculik?


“ Aurel, untung saja kamu sudah kembali. Aku menunggumu dari tadi!”


Claudia langsung memelukku erat sekali, ”Aku takut! Terimakasih kamu sudah kembali! Kalau tidak ada kamu, aku tidak tahu harus bagaimana lagi!”
Semalaman aku merenung. Keesokan paginya, aku memutuskan untuk berubah. Aku akan baik kepada Claudia, walaupun anggapan bahwa dia telah merebut Samuel tetap ada. Pemikiranku yang sekarang adalah ‘masih banyak lelaki lain di muka bumi ini, tapi orang sebaik Claudia semakin sedikit’. Perubahan sikapku pun terbukti saat teman-temanku datang berkunjung ke rumah. Aku tidak lagi menyuruh Claudia sembunyi. Aku tidak lagi malu saat mereka menanyakan apakah Claudia itu buta. Aku tidak lagi iri saat mereka memuji kecantikannya. Aku bahkan dengan tulus ikut memujinya.


Hebatnya lagi, aku bisa bersabar saat Samuel bersamanya. Aku sempat tidak mengenal diriku sendiri saat aku berinisiatif untuk menyeduhkan teh di tengah obrolan mereka.


“ Ini, silahkan diminum tehnya.”


“ Aurel, terima kasih.” Claudia menahan tanganku ketika aku berniat kembali ke kamar, “ Aurel, tunggu sebentar. Kalian kenalan dulu dong.”
Kenalan? Claudia mau memperkenalkanku dengan Samuel?


“ Aurel, ini temanku. Namanya Samuel. Dia sangat baik. Dia yang menolongku sewaktu aku hampir mengalami kecelakaan mobil. Sejak itu, kami berteman.”
K..kecelakaan mobil? Claudia pernah hampir kecelakaan mobil, dan aku sama sekali tidak mengetahuinya?


“ Samuel, ini sepupuku, namanya Claudia. Lihatlah, dia adalah sepupuku yang cantik, betul kan? Dia juga sangat baik. Selama liburan ini, dia telah banyak membantuku. Pernah suatu hari, dia menjemputku di tengah hujan. Aku sangat berterimakasih padanya!”


Perkataannya yang tulus, membuat Samuel tertarik untuk berkenalan denganku. Samuel menyalami tanganku, membuatku bengong. Bukan karena salamannya Samuel, tapi..barusan Claudia memujiku cantik? Astaga, dia kan buta, dia belum pernah melihatku, tapi dia dengan sangat rendah diri memujiku cantik. Dalam bayangannya, dia menganggap aku sepupunya yang cantik? Aku sangat terharu.


Malam harinya, aku mendengar suara dentingan piano yang indah dan menyejukkan hati. Aku menghampiri Claudia, memperhatikan permainannya dari dekat. Sungguh hebat, sungguh mengagumkan. Akhirnya aku paham, aku yang sekarang tidak lagi iri padanya. Aku mengubah rasa iri menjadi rasa kagum padanya. Aku kagum, sampai ingin menjadikannya sebagai teladan bagiku.
Di saat lagunya selesai, aku duduk di sampingnya. Aku mulai mencurahkan semua isi hati yang kupendam selama ini.


“ Claudia, sebenarnya dulu aku iri sekali padamu. Tapi, setelah kupikir-pikir, iri juga tidak ada gunanya. Aku tidak bisa merubah diriku menjadi dirimu.”


Claudia mengenggam kedua tanganku dengan hangat, lagi-lagi tersenyum manis, “ Apa yang kamu iri dariku? Aku terlahir buta. Aku juga banyak kekurangan lain. Aku saja sangat sedih setiap mengingat kekuranganku, tapi aku memutuskan untuk mencintai diriku sendiri. Aku terima semua pemberian Tuhan, termasuk orang-orang yang di sekelilingku, termasuk kamu Aurel! Aku sangat senang memiliki sepupu sepertimu!”


Aku juga. Aku juga sangat senang memiliki sepupu seperti Claudia. Liburan kali ini telah banyak memberikan makna hidup untukku. Hanya saja, aku menyesal tidak menyadarinya sejak awal. Di saat aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama Claudia, masa liburan kami tinggal satu minggu lagi. Satu minggu itupun kumanfaatkan dengan sangat baik.


Kini, Claudia sedang menempuh pendidikan musik di negara Austria. Ia mendapatkan beasiswa, satu-satunya perwakilan dari Indonesia. Sebelum pergi, ia memintaku untuk belajar musik juga, karena dia tahu, diam-diam aku menyukai suara dentingan piano. Dia juga berkata, hal yang terpenting dari hidup ini bukanlah mengejar kesempurnaan yang hampa, karena sebenarnya manusia tidak akan bisa sempurna.




Yang jauh lebih penting adalah semangat untuk bangkit dan mengejar mimpi. Karena dengan adanya mimpi, hidup akan terasa berarti. Aku dan Claudia memiliki mimpi yang sama. Kami ingin memainkan melodi perdamaian yang menyejukkan hati setiap orang, yaitu melalui dentingan piano...
----Selesai----

cerpen Di Kamarku ada Makhluk luar angkasa


P.S. Anggaplah makhluk luar angkasanya adalah Kim Bum ;p



Sekilas, kamar kosku terlihat biasa saja: sempit, sesak, pengap, penuh dengan tumpukan buku dan majalah. Ini adalah hal yang wajar bagi orang-orang stress sepertiku. Namanya juga stress, kepala penuh dengan benang kusut, mana ada niat merapikan lagi.

Tapi kebenarannya tidak sesederhana itu. Siapa bilang, aku, seorang Olive, tidak mempunyai sesuatu yang spesial di kamar? Ha? Sampai sekarang membaca, kalian masih menganggap remeh diriku kan? Kalian menilaiku sebagai tokoh membosankan yang memiliki jalan hidup berbasis takdir kan? Hoho, jelas aku marah dan tersinggung! Kalian akan menyesal telah menilaiku seperti itu!

Kuberitahu yah, di kamarku ada makhluk luar angkasa! Terkejut? Percaya tidak percaya, itulah kenyataan. Kenyataan yang membuatku yah...sedikit gembira. Setidaknya, aku bersyukur telah bertemu dengannya. Bisa dibilang, dia adalah intan permata dalam hidupku yang payah.

Sampai sekarang, otakku sendiri masih tidak sepenuhnya menerima. Kadang di saat aku terbangun dan melihatnya duduk di sampingku, aku mengira diriku sedang mengalami mimpi indah. Itu loh, mimpi yang bisa buat kita senyum-senyum sendiri meskipun kita sudah lupa isi mimpinya.

Soalnya makhluk luar angkasa yang nyasar di kamarku tampan sekali! Sosoknya jauh berbeda dengan yang kutonton di kartun (kalo dia sejelek yang dikartun, sudah kubuang sejak awal, tidak mungkin kupertahankan lagi). Wajahnya mirip manusia, bahkan sangat mirip. Menurut analisaku setelah kuliah 3 tahun jurusan Ekonomi (entah ada hubungannya gak yah), aku merasa kalau dia bukan ‘alien’ total, namun dia yang jenis campuran gitu, campuran manusia dengan alien. Aduh, gimana menjelaskannya yah...hm...fisiknya manusia kelakuannya alien. Nah, itu tepatnya!

“ Albern, saatnya mandi! Kamu sudah hapal caranya mandi?”

Albern, si makhluk luar angkasa tampan itu mengangguk. Lalu ia meletakkan majalah yang sedang dilihatnya, meraih handuk dari gantungan, dan masuk ke kamar mandi. Bahkan, aku sempat mendengar suara pintu kamar mandi dikunci.

Albern memang hebat. Dia jenius. Sekali melihat langsung ingat. Makanya aku memberikannya banyak sekali buku untuk dilihat (dilihat, bukan dibaca, sebab dia belum kuajari untuk membaca). Buku yang kuberikan kebanyakan buku anak kecil, yang penuh gambar dan mengajarkan hal-hal mendasar kehidupan manusia, misalnya mandi. Alien asli kan tidak mandi!

Terserah kalian deh, mau menuduhku egois atau apa. Aku juga sering menuduh diriku sendiri seperti itu. Dia alien, Olive. Dia bukan manusia dan dia tidak boleh dipaksa jadi manusia. Namun, semenjak dia datang, dia sangat patuh kepadaku. Dia rela meninggalkan sifat-sifat anehnya bila terus kunasehati dan kunasehati. Dia mau saja belajar hal baru. Jadinya, terpikir olehku untuk merubahnya menjadi manusia benaran. Dengan begitu, dia bisa menjadi pacarku yang tampan dan memiliki sifat baik. Pacar yang sempurna.

Siapa suruh dia datang di waktu yang salah? Di catatan harianku jelas tertulis kalau Albern datang secara tiba-tiba pada hari Sabtu, tanggal 6 Juni, pukul lima sore. Saat itu, aku kan sedang mengurung diri di kamar, menangis, menutupi wajahku dengan bantal, guling, selimut, dll. Pokoknya, dengan suasana hati yang lebih stress dibandingkan sekarang. Please, jangan tanyakan kenapa....hei, kalian terus memaksa! Baiklah, alasanku adalah alasan yang umum bagi seorang perempuan untuk menangis, yaitu: diputusin pacar.

Pacarku, ups, mantan pacarku, sungguh jahat. Aku tak menyangka, dia yang selalu baik padaku, ternyata hanyalah akting semata. Harusnya aku curiga, dia yang selalu memintaku traktir. Harusnya aku sadar, sedari awal dia banyak menghabiskan uangku. Padahal aku sangat jago di bidang ekonomi, namun untuk masalah keuangan pribadi, aku selalu kebingungan mencari faktor defisit.

Hari itu, mentang-mentang aku sedang kehilangan pekerjaan sambilan, mentang-mentang dirimu sudah ada yang taksir lagi, Albert, kau tega mengata-ngataiku! Aku masih ingat bagian yang paling menyakitkan, kamu bilang aku bau badan, berlemak dan berjerawat! 3B!

Di saat hatiku hancur, kaca jendelaku ikutan hancur. PRANG!!Sangkin terkejutnya, aku sampai ngomel sendiri “ Mampuslah! Uang kos bulan lalu masih ngutang, sekarang apa lagi?!” Apakah ini perbuatan anak-anak nakal yang bermain bola? Kalau iya, rasakan emosi gadis jomblo berusia 24 tahun yang naik 5 kg dalam sebulan terakhir! Hiat!

Di saat aku berusaha bangkit dari tidurku, yang kutemukan bukanlah bola kaki anak-anak, melainkan...piring terbang dengan aliennya, satu set! Sebagai reaksi pertama aku tertawa. Haha, lucu sekali! Ada piring terbang menabrak kaca jendela kamarku, dan menerobos masuk. Piring terbang dan alien itu lebih mirip cowok tampan dan motor mini adiknya. Maksudku, piring terbang itu sangat sempit, hanya muat untuk diduduki si cowok, itupun seperti dipaksa-paksa.

Sedetik kemudian, aku melakukan aksi ‘teriak besar-besaran’. Ternyata, aliennya tak berpakaian sama sekali, tubuhnya...tubuh seorang pria! Dan...kalo dipikir-pirkir, kenapa aku?! Kenapa kamarku?! Apa misinya, menghancurkan bumikah?!
Lain pula saat si alien selesai berpakaian. Hatiku langsung luluh. Meski kuberi T-shirt pink dan rok mini karena hanya itu yang masih bersih, dia tetap saja tampan! Bayangkan, dia rada-rada mirip Kim Bum dari BBF. Aku mencoba untuk berpikiran irasional, yah so what dia alien, yang penting aku tetap berteman dengannya. Dia juga menjelaskan, dengan bahasa campuran (bahasa manusia dicampur musik techno), bahwa piring terbangnya rusak, membuatnya seperti penumpang pesawat yang terdampar. Aku suka suaranya yang keren. Aku suka wajahnya. Akhirnya, aku menyilahkannya tinggal di tempat teraman di muka bumi, yaitu di kamar kosku. Cie...siapa sangka kan?

Seminggu pertama, aku tidak bepergian kemanapun. Aku sampai bolos kuliah, karena aku harus terus menemaninya. Aku masih asing dengannya dan dia masih asing dengan dunia ini, makanya lebih baik jangan ditinggal sendiri. Lalu, aku mulai mendapati banyak sekali hal aneh, misalnya bola matanya. Mulailah berpikir irasional lagi: dia seorang alien (aih, seorang atau seekor yah?), boleh-boleh saja dong dia merubah warna matanya sesukanya tiap dua menit. Kuperhatikan ada urutannya, yaitu biru, ungu, pink, merah, kuning terang, kuning emas, dan jingga. Percayalah, meski tampak seperti mata berdarah, warna merah paling cool untuknya.

Ada lagi, dia tidak bisa lapar, tapi juga tidak bisa tidak makan. Makan baginya hanya sekedar keinginan bukan kebutuhan. Keinginan yang muncul setiap saat. Misalnya, ada seekor cecak lewat, pas keinginannya sedang timbul, maka lidahnya akan mencuat panjang sekali lalu..HAP! Dikunyah deh cecaknya. Menyaksikan kejadian itu untuk pertama kalinya, aku muntah-muntah sampai dua hari. Sekarang sih sudah terbiasa. Kalo Albern kuajak ke restoran, dia akan makan makanan yang dipesan, tapi aku tetap harus ingat untuk menghentikannya sebelum dia memakan piring dan sendoknya sekaligus.

“ Honey, kenapa kamu memberiku nama Albern?”

Suatu hari, aku dikejutkan dengan pertanyaannya itu. Dia menanyaiku atas latar belakang apa aku menamainya. Sudah kuduga, alien itu tidak bodoh. Tapi...apakah alien memiliki perasaan? Apakah dia bisa sedih atau marah mendengar jawabanku? Adakah emosinya? Aku tidak tahu. Aku sudah mengecek internet, membaca ensiklopedia, sampai bertanya ke dosen. Tidak ada yang benar-benar tahu. Mungkin iya, mungkin juga tidak.

“ Karena...karena...aku belum bisa melupakan mantan pacarku, Albert. Meski dia telah menyakitiku, aku masih sayang padanya. Aku masih ingat saat-saat aku naksir padanya, saat-saat aku mengamati dirinya dari jauh. Aku tidak rela kalo dia memutuskanku. Aku tetap ingin menjadi pacarnya. Lalu kamu tiba-tiba datang. Kamu hadir dan selalu menemaniku. Aku melatihmu untuk menjadi baik dan wajar...aku bahkan menyuruhmu memanggilku ‘sayang’. Aku telah mengaturmu untuk menjadi pengganti Albert di hatiku..maafkan aku, Albern...”

Tidak kusangka, jari-jarinya menyentuh wajahku. Albern berusaha menghapus air mataku. Aku memang pernah mengajarinya untuk berkata “tidak apa-apa” setiap mendengar kata “ maaf”. Lihatlah, betapa egoisnya aku. Aku telah memprogramnya untuk menjadi pacar yang senantiasa memaafkan. Pacar sempurna yang sesungguhnya, di kehidupan nyata, tidak pernah ada. Tapi entahlah, aku tidak pernah mengajarinya untuk menghapus air mataku. Apakah dia pernah melihatnya dari televisi atau tindakan alamiahnya sendiri? Apakah dia memiliki perasaan itu? Ia melakukannya dengan sangat lembut, matanya bahkan menatapku dengan tulus, seakan memberitahuku kalo dia tidak marah sedikitpun, kalo dia mau saja menemaniku, melewati tiap kesedihan dan kesepian...

Keesokan harinya, sikapku menjadi berbeda kepadanya. Aku mulai ada perasaan tersendiri terhadapnya. Di mataku, Albern bukanlah lagi figuran dari Albert. Bagiku Albern jauh lebih berharga daripada Albert. Dia lebih menyanyangiku. Dia tidak berpura-pura demi uang. Dia tulus. Dia menerimaku apa adanya. Yang membuatku kecewa adalah kenyataan bahwa dia adalah alien. Manusia tak mungkin berpacaran ataupun menikah dengan seorang alien, meskipun aku telah mencoba berpikir lebih irasional lagi.

Kejadian beberapa malam ini menjadi beban pikiran terbesarku. Dalam kegelapan, dalam tengah kesadaranku, aku melihat Albern. Dia tidak sedang melihat buku. Dia tidak sedang menonton televisi. Dia malah melongok keluar jendela, pandangannya mengarah ke langit. Aku mengikuti arah telunjuknya...dan terperangah! Ada banyak sekali piring terbang melayang di sana, semuanya sejenis dengannya. Mereka melambai-lambai kepada Albern, seperti memanggilnya untuk ikut. Tapi Albern tidak bisa melakukannya. Pintu jendela kukunci dengan ketat. Piring terbang Albern yang sebenarnya masih bisa digunakan telah kusimpan di tempat yang tidak diketahuinya. Dengan begitu, dia tidak mungkin bisa pergi lagi.

Malam-malam selanjutnya tetap begitu. Mereka terus memanggil Albern, tapi Albern menggeleng tidak berdaya. Albern tidak bisa pergi...dan juga tidak tega untuk pergi. Dia bahkan tidak pernah menceritakannya kepadaku tentang panggilan teman-temannya. Dia tidak mau membuatku sedih. Apakah aku bisa sejahat itu? Apakah aku tetap bersikeras menahan dirinya yang lebih mementingkan perasaanku dibanding perasaannya? Tidak, aku tak bisa. Aku sadar aku membutuhkannya, karena bersamanya, aku melalui hari-hari bahagia. Namun, di sisi lain, dia juga membutuhkan teman-temannya. Dia pasti merindukan kehidupan awalnya di planet lain.

Maka, malam ini, aku telah memutuskan untuk merelakannya. Aku mengembalikan piring terbang yang telah kuperbaiki sendiri. Aku membukakan jendela lebar-lebar untuknya. Dengan antusias, dia masuk ke piring terbangnya, tapi saat dia hendak menyalakan mesin, dia berhenti. Dia menatapku, dengan raut wajah sedih.
“ Albern, lekas pergi!”

Dia menggeleng, tidak bersuara, hanya deru nafasnya yang beraliran musik techno..

“ Albern, lekas pergi! Aku tidak mau lagi menahanmu!”

Aku bersikeras mendorongnya. Piring terbangnya mulai melayang, tapi tangannya memegang erat tanganku, susah untuk melepaskanku..

“ Baiklah! Lain kali, kamu boleh datang mengunjungiku lagi, dengan syarat tidak boleh nabrak masuk lagi yah! Kamu kan bisa seperti teman-temanmu, melambai-lambai di atas langit, dan aku akan membalas lambaianmu!”

Aku tersenyum, mengelus-elus kepalanya, berusaha melapangkan hatiku sendiri. Mungkin, ini terakhir kalinya aku bisa mengelus kepalanya. Aku pasti akan sangat merindukannya..

Karena Albern alien yang paling patuh, dia mau mendengarkanku. Sosoknya perlahan-lahan menghilang dalam gelapnya langit malam. Memang menyedihkan, namun kali ini aku cukup tabah. Selama sebulan ini, Albern telah memberikan banyak hal spesial dalam hidupku yang hambar.
Meskipun dari luar aku hanya mahasiswi biasa-biasa saja, tapi aku menyimpan rahasia misterius. Aku mempunyai segudang pengalaman luar biasa bersama alien di kamar kosku ini. Aku yakin, tidak ada seorangpun yang pernah mengalaminya, iya kan? Maka dari inilah, aku mengubah pandanganku terhadap diri sendiri. Aku bukanlah orang yang biasa-biasa saja. Aku adalah orang yang spesial. Mungkin inilah misi Albern datang ke dunia ini. Ia datang untuk menyadarkanku..


-Selesai-