Thursday, February 16, 2012

cerpen My Love At Merry-Go-Round






Di suatu siang bolong, di saat matahari bersinar begitu teriknya, aku dipaksa mama untuk menemani seorang anak tiga tahun mengunjungi taman bermain. Benar-benar konyol. Mama kira aku tidak punya kerjaan lain, apa?


“ Ayo, cepetan!”




Dan anak setan itu terus menarik-narik rokku. Kini rok tersebut telah melorot 2 cm dari tempat semula, maka harus segera kuhentikan sebelum sempat melorot seluruhnya.




" Iya, sabar dong Louis. Kita kan mesti beli tiket dulu sebelum masuk," sahutku panik sambil sibuk membongkar isi dompet. Duh, mana yah uang lima puluh ribuku? Nah, ini dia. Aku langsung memberikannya kepada petugas loket. Sebagai gantinya, petugas loket pun menyodorkanku tiket. " Ini tiketnya dua lembar, bu. Anaknya dijaga baik-baik, jangan sampai jatuh."




Uah, tampaknya petugas loket ini cari gara-gara nih. Masa diriku yang cantik begini malah dipanggil ibu sih? Nggak salah?




" Ehem. Maaf, aku bukan ibunya. Aku gurunya," jelasku tak senang sambil menyibakkan rambut. Sebenarnya, barusan tadi aku ada sedikit berhobong. Aku bukan gurunya Louis, melainkan anak dari gurunya Louis. Berhubung mama sedang ada urusan, mama menyuruhku menemaninya. Tapi kalau aku jelasin sekarang ke petugas loket, pasti bakalan panjang lebar, makanya dipersingkat saja sebagai gurunya Louis.




“ Sama saja deh. Pokoknya anak kecil dijaga baik-baik, jangan sampai jatuh!” balas si petugas loket dengan wajah cuek. Dasar, apanya yang sama? Yah jelas beda dong. Kalau aku adalah ibunya Louis, berarti aku sudah married. Sedangkan sampai sekarang saja, aku belum pernah pacaran.




“ Asyik, naik Melly-Go-Lound! Ayo cepat bu gulu!”




Kalau saja Louis tidak terus mendesakku, pasti sekarang sudah kusemprot petugas loket tersebut. Argh, kali ini kumaafkan saja deh orang menyebalkan seperti itu. Aku lantas membantu Louis menaiki kuda cokelat pilihannya, sebab ia tidak mungkin sanggup memanjatinya sendiri dengan kaki pendeknya.




Belum sempat merry-go-round berputar, kudapati ponselku berdering. Tidak perlu ditebak lagi, itu pasti telepon dari mama. Dengan malas, aku pun menjawab, “ Halo?”




Menyebalkan, dari teleponnya, mama malah menyuruhku untuk menemani Louis sampai sore. Sekarang kan baru jam sepuluh pagi, masih lama sekali. Aku berusaha memprotes, “ Tapi ma, Novi kan punya kerjaan lain!”




“ Kerjaan apa ? Kamu kan sedang liburan sekolah.”




Aku merapikan letak poniku sesaat, memikirkan jawaban yang pas, “ Novi...Novi mau pergi berkencan sore nanti!”




“ Jangan bohong. Kamu kan belum punya pacar,” ketus mama blak-blakan. Memang, hubunganku terhadap mama sangatlah terbuka. Kami berbagi cerita apa saja, termasuk mengenai kisah asmaraku yang menyedihkan. Sampai menginjak usia enam belas tahun, aku belum pernah pacaran. Sama sekali belum. Bukannya aku tidak tertarik, tapi semua cowok di sekolahku diharuskan berkepala botak. Dan perlu diketahui, aku benci sekali pria botak. Aku tidak mungkin berpacaran dengan salah satu di antara mereka. Aku hanya berharap dapat mengenal cowok dari luar sekolah, namun apa daya, setiap pulang sekolah ataupun liburan, aku harus membantu mama menangani anak-anak didiknya. Memang mereka tidak botak, dan ada beberapa di antara mereka yang cukup tampan, tapi tetap saja mereka masih anak ingusan yang tidak mungkin bisa kupacari.




‘ Andai saja Louis bisa berubah menjadi pria dewasa yang tampan, pasti kupacari dia.’ pikirku tanpa sadar ketika Merry-Go-Round mulai berputar. Aku pun terkekeh sendiri dan membelai kepala Louis. Hm, Louis pasti tumbuh menjadi pria tampan kelak. Lihatlah matanya yang bulat, alisnya yang tebal, dan bibirnya yang mungil.




Astaga, tiba-tiba saja kuda yang sedang kunaiki bersama Louis berputar sangat cepat seperti diterpa gempa besar. Akupun menjerit ketakutan dan memeluk Louis dengan erat. Apa yang terjadi, apakah letusan gunung berapi lagi, atau pergeseran muka bumi?




Untung saja, gempa tersebut hanya berlangsung sesaat lalu berhenti. Aku tidak bisa bertanya kepada penumpang lain tentang penyebabnya, karena hanya kami berdualah penumpang Merry-Go-Round ini. Lebih baik kami segera turun saja. “ Ayo Louis!”




Eh? Aku tidak sanggup menggendong Louis. Mendadak dia menjadi berat sekali.




“ Hei Louis!” aku menengadah untuk melihatnya, dan mataku hampir meloncat keluar. Yang duduk di depanku kini bukan lagi Louis, melainkan seorang pria yang tampan!




Matanya bulat, alisnya tebal, bibirnya mungil...Astaga, bukankah itu ‘Louis dewasa’ yang kubayangkan?! Ya, betul. Setelah mengecek tanda lahir di telapak tangannya, aku mulai percaya itu Louis. Tapi...kok bisa sih?




“ Bu gulu Novi,” sapanya sambil melambai-lambaikan tangan padaku. Jangan-jangan dia...Oh my God! Dugaan terburukku benar-benar terjadi. Aku sudah susah payah mendapatkan Louis yang tumbuh dewasa, namun ternyata kedewasaan hanya ada pada sisi fisiknya saja. Mental dan kepribadiannya tetaplah berumur tiga tahun.




“ Hei Novi!” Belum sempat berbuat apa-apa, seseorang memanggilku. Aku lekas mencari sumber suara. Astaga, ada Mimi, Lola, dan Sinta, tiga musuh bebuyutanku! Mereka berdiri tak jauh dari Merry-Go-Round. Mereka pasti akan menertawaiku bila menemukanku sedang bermain dengan anak kecil. Bagaimana dong sekarang?




Eh, tunggu dulu. Bukannya Louis sudah tumbuh dewasa sekarang? Baiklah, biar kutunjukkan kepada mereka kalau aku sedang berkencan dengan pria tampan. Dulu, mereka kan selalu mengolok-olokku karena tidak punya pacar, padahal pacar mereka sendiri botak semua.




“ Sedang ngapain nih?” Mata mereka tampak menyelidik, namun mereka




tersenyum. Pasti karena ada Louis di dekatku. Kali ini, aku harus pintar mengambil kesempatan untuk memamerkan diri sedikit. “ Oh, mumpung kalian disini, kenalkan. Dia pacar baruku, namanya Louis.”




“ Apa? Pacar?” kutemukan raut kekesalan di wajah mereka, yang berusaha disembunyikan. Kemudian mereka buang muka padaku, dan beralih kepada Louis, “ Hai Louis.” Mereka mengedip-ngedipkan mata dengan genit sekali. Aduh Louis, jangan membalas sapaan mereka. Cuek saja, be cool, man!




Yang namanya anak tiga tahun tetaplah tiga tahun. Begitu disapa, dia langsung cengengesan, “ Hai kakak-kakak, ada permen untuk Louis tidak?”




Begitulah, terpaksa aku harus menanggung rasa malu karena Mimi, Lola, dan Sinta beranggapan bahwa aku telah berpacaran dengan orang gila. Mereka terus menertawaiku, bahkan gema tawa mereka masih terdengar sampai ke sini, meski aku sudah mengajak Louis berpindah tempat.




Tingkah laku Louis kemudian semakin menjadi-jadi. Ia bisa menjerit, menangis, ataupun tertawa sesukanya. Bagi orang awam yang tidak tahu-menahu mengenai kejadian ‘pertumbuhan aneh’ ini pasti mengira dia memang tidak waras.




“ Bu gulu, Louis mau main di kotak pasil itu!” rengeknya tiada henti. Terpaksa aku mengizinkannya untuk bermain dengan segerombolan anak kecil lainnya. Memalukan, bolehkah aku meninggalkannya sekarang juga? Tapi...apa kata mama nantinya kalau dia hilang? Astaga, apa mungkin dirinya yang seusia denganku masih bisa hilang diculik orang?




“ Bu gulu, kaki Louis sakit. Louis pingin digendong!”




Aku memutuskan untuk menyerah saja dalam permintaan kali ini. Aku tidak mungkin bisa menggendong dirinya yang jauh lebih tinggi dan berat dariku. Lagian, apa kata dunia kalau melihat seorang gadis remaja menggendong pria? Bisa-bisa aku masuk halaman pertama koran besok!




“ Hua!!!” Di saat aku berkata tidak padanya, ia langsung menangis seakan aku telah memukul pantatnya, “ Ibu gulu jahat! Kaki Louis kan sakit. Louis mau digendong!”




Biarin. Tetap saja tenang, jangan pedulikan dia , ucapku kepada diri sendiri. Namun ia menangis lama sekali, sampai terbatuk-batuk. Bajunya juga basah, kalau kubiarkan lagi, dia pasti masuk angin. Agh, baiklah! Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi permintaannya.




“ Louis, asyik tidak? “ Kini aku hampir kehabisan nafas. Ini jauh lebih mengerikan dari yang kuperkirakan. Meskipun aku tidak benar-benar menggendongnya, meskipun aku hanya memapah bahunya dan menyeretnya, tetap saja rasanya mematikan.




“ Sampai disini saja yah. Sekarang Louis duduk dulu.”




Syukurlah, dia tidak menangis lagi dan setuju untuk duduk. Buru-buru aku mengeluarkan kaos putih yang kubeli di kios ujung sana. Aku sih tidak tahu ukuran tubuh Louis dewasa, jadi kubeli saja ukuran ‘L’. Yang penting dia tidak masuk angin.




“ Louis bisa tidak ganti baju sendiri?”




Louis menggeleng dengan polosnya. Dasar, terpaksa aku harus menggantikan baju untuknya. Banyak orang berlalu-lalang menertawaiku, bahkan ada tante-tante bermuka masam padaku karena aku telah begitu agresifnya membuka pakaian laki-laki. Sudahlah, terserah saja. Aku sudah capek memedulikan penilaian orang lain. Mereka kan tidak ngerti posisiku.




“ Bu gulu, Louis ngantuk!” kini Louis mengucek-ngucek matanya dan menguap lebar. Kuperhatikan jam tanganku sejenak. Memang sih, sudah jam empat sore, waktunya Louis untuk tidur siang. Dua jam lagi, aku harus membawa Louis pulang ke rumah. Aku masih bingung apa yang harus kukatakan kepada mama yah supaya dia mau percaya padaku. Atau mungkin, mama juga mengira aku gila dan mengirimku ke rumah sakit jiwa?




“ Baiklah, tidur saja di pangkuanku,” tawarku lemas. Aku juga merasa capek, jelas capek sekali seharian melayani bayi besar nan bawel. Louis kini mulai menyandarkan kepalanya di pangkuanku, lalu dalam sekejap saja, ia sudah tertidur pulas. Mulutnya mengangga lebar. Hihi, sebenarnya kalau diperhatikan seksama, wajah Louis imut sekali. Tapi aku tidak mau berharap banyak darinya, percuma.




Aku terus membelai-belai kepalanya sampai angin sepoi-sepoi membuatku turut mengantuk. Sebelum aku ikut tertidur, di dalam benakku sempat terpikirkan, ‘ Semoga saja Louis bisa kembali seperti semula. Biarlah dia tumbuh sesuai kenyataan usianya.’




Aku segera terbangun karena seseorang menyentuh wajahku, “ Louis? “




Louis tidak tertidur lagi. Kini ia duduk di sampingku, wajahnya dekat sekali denganku,








“ Terimakasih Novi, atas kencan menyenangkan kita hari ini.”




Aku tergelak kaget. Mana mungkin Louis yang masih bermental tiga tahun berkata begini? Ataukah kini, mentalnya juga telah turut tumbuh?




Kemudian, ia mengenggam tanganku, “ Kamu adalah gadis yang baik. Sebenarnya aku ingin menjadi pacarmu, hanya saja, waktunya masih terlalu dini. Dan aku juga tidak berharap kamu menungguku sampai puluhan tahun lagi. Aku yakin, sebentar lagi kamu pasti bisa mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku, Novi.”




Tanpa bisa kucegah, ia mencium keningku. Cukup lama, sampai tiba-tiba bumi terasa berguncang. Guncangan asli atau hanya reaksi tubuhku sendiri yang terlalu kegirangan sampai berguncang?




Ups, ini adalah guncangan nyata. Semua orang di taman bermain juga berteriak ketakutan. Guncangan ini persis seperti guncangan yang terjadi jam sepuluh tadi, berlangsung sesaat kemudian mereda. Dasar, mengganggu momen-momen indahku saja deh!




“ Tapi Louis, kalau kamu tetap seperti ini, seromantis ini, aku bersedia kok jadi pacarmu,” lanjutku sambil menggulung-gulung ujung rambutku dengan malu. Yah, tentu saja aku mau punya pacar seperti Louis, asalkan dia tidak kebalita-balitaan lagi, semuanya akan menjadi sempurna.




Aku tidak mendengar sepatah jawabanpun darinya, “ Louis?”




Akhirnya aku mendapati kalau Louis telah berubah menjadi Louis kecil lagi (baik fisik maupun mental), seusai gempa terakhir. Dan kini, ia masih tertidur di pangkuanku, dengan jempol dicomotkan ke dalam mulut. Argh, sebenarnya apa yang terjadi sih? Kenapa dia bisa berubah sesukanya saja?




Aku juga tidak mau terlalu memikirkan keanehan ini lagi. Hanya ada satu hal yang menjadi tanda tanya besar bagiku, yaitu kata-kata terakhir ‘Louis dewasa’, yang berbunyi: Aku yakin, sebentar lagi kamu bisa mendapatkan seseorang yang baik dariku, Novi. Apa mungkin sebentar lagi aku akan mendapat pacar benaran? Wah, semoga saja ya!
__ SELESAI__






No comments:

Post a Comment