Thursday, February 16, 2012

cerpen HappyParty.com





http://www.happyparty.com/
User Password: ******
LOADING...
Total coming order: 48

Hmm. Banyak juga orderan untuk bulan ini, berarti aku harus kerja keras dong. Ya, baiklah. Aku akan berusaha yang terbaik demi kebahagiaan orang lain. Maka tanpa berpikir panjang lagi, aku pun menekan tombol enter pada keyboard, yang menandakan kalau aku menerima semua orderan itu.

Beberapa menit kemudian, ada beberapa tanggapan yang masuk ke inbox. Isinya berupa ucapan terimakasih dari si peminta order. Mereka merasa antusias sekali karena aku bersedia membantu mereka di saat-saat paling penting dalam hidup mereka.

“ Tidak perlu sungkan” gumamku sendiri sambil tersenyum lebar di depan layar komputer, “ Itulah tujuanku mendirikan HappyParty group: memberikan arti lebih di setiap pesta.”

Motto tersebut telah kugunakan selama setahun terakhir dalam menjalani usaha Event Organizer yang kukelola sendiri. Awalnya, HappyParty group menggunakan motto lain, motto yang lebih komersial, namun tidak memiliki makna sedalam ini. Lalu aku mengubahnya, seiring aku mengubah pandangan hidupku terhadap arti dari sebuah pesta.

Dulunya, aku selalu menganggap pesta sebagai sebuah simbol kemewahan, menggambarkan betapa istimewanya hari peringatan tersebut dengan seberapa besar dana yang dikeluarkan si pengada pesta. Sebuah pandangan yang benar-benar salah dan menjerumuskan, sampai suatu hari aku mendapat order dari klien yang bernama Alex, segala perubahan pun terjadi.



Siang itu, Alex datang ke kantorku untuk berkonsultasi langsung denganku. Kami berdiskusi cukup lama, karena apa yang ditawarkan Alex adalah pekerjaan yang besar bagiku. Meskipun sudah cukup berpengalaman dalam seluk beluk mengatur pesta ulang tahun, aku masih tetap merasa gugup karena pesta ulang tahun yang diharapkan Alex adalah pesta yang dapat meninggalkan kenangan terindah bagi kakeknya.

Kakek Alex berusia 88 tahun, yang berarti sudah sangat tua. Dokter memvonis kesehatan kakeknya kurang baik, sehingga Alex khawatir kalau mungkin ini adalah ulang tahun terakhir yang bisa ia persembahkan untuk sang kakek tercinta.

Berhubung keluarga Alex kaya raya, aku pun mempertimbangkan untuk mengelar pesta ulang tahun elit layaknya pesta para pengusaha kaya lainnya. Aku menyewa grand ballroom hotel terkemuka, mengundang dekorator-dekorator luar negeri, bekerjasama dengan restoran Perancis berkelas, pemain orkestra terbaik, dan segala wujud kemewahan lainnya. Aku bekerja sangat keras, sampai cukup optimis bahwa persiapanku telah mantap. Nyatanya, aku telah melupakan suatu poin penting dari pesta, yaitu kebahagiaan si kakek sendiri terhadap pesta tersebut.

Kakek Alex pincang, tubuhnya agak bongkok, wajah penuh keriput, rambut serta kumisnya putih semua. Ia benar-benar tampak tua, setua usianya. Namun, ia masih sangat ramah terhadap siapapun. Ia selalu tersenyum. Sedangkan orangtua Alex merupakan kebalikannya, mereka selalu tampil dengan busana glamor. Mereka jarang tersenyum, malah kening mereka selalu mengerut bila mendapati adanya ketidaksempurnaan dalam tugasku. Aku canggung bila harus berhadapan dengan mereka. Untung saja, Alex selalu ada di sampingku. Bagiku, sifat Alex lebih menyerupai kakeknya. Ia lebih bisa tersenyum, meskipun tetap saja ia tampak berkelas.

Sebulan sebelum pesta, aku sibuk mencarikan penata rambut untuk mewarnai rambut kakek yang telah dipenuhi uban. Sebenarnya, ini bukan bagian dari rencanaku. Orang tua Alex-lah yang menuntut terlalu banyak terhadap kakek. Selain rambut yang harus diwarnai kembali, kakek harus berlatih berjalan tegak tanpa tongkat, yang menurutku sangatlah tidak masuk akal. Kasihan kakek. Dari sorot matanya, aku mendapati kesedihan hatinya di saat sang anak merasa malu terhadap kondisinya dan berusaha menutupinya dari khayalak ramai.


Sampai suatu hari, hati nuraniku angkat berbicara. Selama ini, akulah yang melihat dan mengetahui penderitaan kakek. Keluarga Alex tidak pernah tahu, mereka hanya bisa menutut. Aku pun semakin marah saat Alex datang dan meminta kakek menghapal sederet pidato yang telah disiapkan. Apa yang sebenarnya ada di benak Alex? Bukankah dulu ia yang berinsiatif membuat pesta kakek menjadi memori terindah baginya? Aku tidak menyangka kalau termyata Alex tak jauh beda dari orangtuanya.

“ Maaf kalau aku telah mencampuri urusan kalian, tapi kamu tidak seharusnya berbuat begitu, Alex!” Kusadari nada suaraku yang kian meninggi. Alex terdiam sejenak, lalu memadangku dengan pandangan yang tetap resmi, “ Apa maksudmu?”


Astaga, jantungku berdebar kencang saat Alex beradu mata padaku. Sebenarnya, semenjak pertama kali kami bertemu, aku selalu mengagumi pesona Alex, serta mengagumi rasa sayangnya terhadap sang kakek. Sekarang aku baru mengetahui kenyatannya, dan kenyataan itu cukup membuat hatiku kecewa.

“ Kalian ingin rambut kakek dicat, kalian ingin kakek berjalan sendiri ke atas podium tanpa tongkat, sekarang kalian ingin kakek menghapal pidato yang tak berhubungan dengan pestanya?” Aku mengatakannya sambil berkacak pinggang. Itulah satu-satunya posisi tubuh yang memberikanku keberanian untuk marah.

Alex meremas kertas di tangannya, “ Pidato ini adalah sebuah formalitas. Di setiap pesta yang kami hadiri, para pelaku pesta harus menyampaikan pidato kepada tamu-tamunya. Etika sebuah pesta.” jelasnya tegas. Dagunya mengeras. Alis matanya menyatu serta menajam.

“ Tapi ini berbeda Alex. Kakekmu sudah tua, dan kondisi fisiknya tidak baik. Para tamu pasti bisa maklum kalau dia tidak menyampaikan pidato hanya untuk formalitas!”

Sudahlah, aku terlanjur nekat masuk ke sarang harimau. Tamatlah riwayatku. Tapi setidaknya, aku telah berusaha menegakan hak kakek. Aku harus menyelesaikan aspek keadilan ini sampai tuntas.

“ Apakah kalian tidak kasihan melihat kakek? Kakek bahkan bercerita padaku bahwa hari ulangtahun adalah hari yang paling ditakutinya dalam setahun. Di hari biasa, ia sendirian, namun ia bebas melakukan apa saja. Di hari ulangtahun, semua anggota keluarga berkumpul, mengekangnya dan mengajukan tuntutan besar terhadapnya!”

Aku menelan ludah, lalu mengeratkan kepalan tanganku, “ Dulu saat kakek tidak sengaja menjatuhkan gelas di pesta, bukankah kalian sangat marah dan mempermalukannya di depan umum? Kalian sangat tidak berperasaaan!”

Aku mundur selangkah selagi Alex mendekat. Perlahan-lahan, kuangkat kembali wajahku untuk memperhatikan ekpresinya. Apakah ia akan melahapku hidup-hidup? Atau menyuruh bodyguardnya menendangku jauh-jauh dari hadapannya?

Dugaanku melesat. Alex sama sekali tidak marah, malahan kini wajahnya kian melunak. Matanya berkaca-kaca. Ia tampak sangat menyesal.

“ Benarkah kakek berkata seperti itu padamu?”

Aku terlalu terkejut sehingga tidak sanggup menjawabnya dengan kata-kata. Aku hanya mengangguk mengiyakan.



“ Aku merasa bersalah sekali kepada kakek!” lolongnya tiba-tiba. Kemudian ia merobek kertas yang tadi digenggamnya, sampai berupa serpihan kecil, “ Aku kira aku telah melakukan yang terbaik untuknya. Ternyata aku salah!”

Alex menjatuhkan lututnya diatas lantai marmer ballroom yang kilap. Ia menutup wajahnya dari cahaya lampu kristal sekitar, dan menangis pelan di tengah sibuknya persiapan pesta. Para pekerja yang berlalu-lalang sampai berhenti untuk memerhatikan kami dengan penuh rasa ingin tahu.

Kali ini Alex tidak lagi menjaga gengsinya. Bisa kulihat, ia benar-benar sayang pada kakek. Apa yang ia lakukan bukanlah sesuatu yang buruk, hanya saja ia tidak tahu cara membahagiakan kakeknya. Lagian, ia masih belum terlambat untuk memperbaiki kesalahannya.



Aku lekas menghampiri Alex, mengulurkan tanganku dengan tulus, “ Ayo kita ubah pesta ini. Kita tidak perlu membuatnya semewah mungkin, kita hanya perlu menciptakan kehangatan keluarga di dalamnya. Ingat tidak, apa saat-saat yang paling asyik bersama kakek di masa kecilmu? Mengobrol dan bercanda, itulah arti sebuah keluarga.”

Alex menerima uluran tanganku. Sorot matanya masih berkaca-kaca. Mungkin kenangan masa lalu bersama kakek muncul kembali di benaknya. Beberapa saat kemudian, kami duduk berdiskusi tentang tema pesta ini, seperti apa yang kami lakukan di awal pertemuan. Namun kami telah mengubah hampir keseluruhan dari prinsip dasar pesta. Kami memutuskan untuk merayakannya di rumah kakek saja, tanpa podium, tanpa lantai marmer, tanpa peralatan makan antik, bahkan tanpa sepatu mewah. Makanan yang disajikan hanya katering rumahan, semuannya berupa menu kesukaan kakek. Kakek tidak lagi diharuskan menyampaikan pidato formal, melainkan para cucu yang wajib menyatakan rasa sayang terhadap kakek dengan cara non-formal. Astaga, kakek pasti bakal terharu sekali.

Keputusan Alex yang mendadak memang mendatangkan tentangan dari berbagai pihak. Orangtua Alex sangat tidak setuju. Paman, bibi, bahkan sepupu-sepupunya bersikeras untuk tidak mau hadir di pesta konyol dan rendahan. Semuanya menyalahkan Alex dan diriku.

Mau tidak mau, aku harus menyadarkan mereka. Aku sanggup menyadarkan Alex, berarti aku pasti juga sanggup menyadarkan lainnya juga. Bermodalkan tekad dan keberanian, aku pun berbicara dengan satu per satu di antara mereka. Proses yang beresiko tentunya, banyak argumentasi, akan tetapi cukup membuahkan hasil. Setidaknya setengah di antara mereka, termasuk orangtua Alex, akhirnya setuju untuk datang dengan syarat pestanya harus menyenangkan dan harus ada pemain orkestranya. Kalau hanya pemain orkestra saja sih tidak masalah.

Sampai juga di hari H, untuk sekian kalinya aku mengamati bayanganku di cermin. Sekarang aku telah memakai gaun putih yang sederhana namun anggun, sesuai dengan tema pesta. Aku telah menyapukan riasan tipis yang mempercantik diri. Aku memang telah menyiapkan segalanya dan berharap dapat berjalan sesuai rencana. Aku juga berharap Alex bisa menjadi cucu kebanggan kakeknya.



Kakek sangat gembira. Ia tertawa sepanjang pesta. Kakek pun mengangkat gelasnya tinggi-tinggi untuk bersulang, namun ia tidak sengaja menjatuhkan gelas tersebut dari genggamannya, menciptakan suasana hening seketika. Rasa takut langsung datang mencengkram diriku. Apakah peristiwa tahun lalu akan terulang kembali? Apakah kakek harus menanggung rasa malu lagi?

Untung saja itu hanyalah gelas plastik yang tidak menimbulkan perpecahan. Astaga, aku hampir saja lupa kalau aku telah mengganti semua peralatan makan antik dengan bahan plastik nan praktis. Aku lantas mengamati kening orangtua Alex yang tidak jadi membentuk kerutan-kerutan tak senang. Phew, hampir saja.

Alex tahu apa yang harus ia lakukan untuk meredakan ketegangan. Ia datang menghampiri kakek, mencium kening kakek begitu akrab, dan mulai bercerita tentang masa kecilnya yang indah bersama kakek. Selain banyak bercerita, ia juga menyuapi kakek sampai-sampai seisi ruang bertepuk tangan untuknya.

Syukurlah semuanya berjalan sukses. Sebentar lagi pesta ini akan segera berakhir, yang berarti akhir dari tugasku terhadap keluarga Alex. Aku sangat puas telah mendapatkan banyak pelajaran berharga selama sebulan terakhir. Mulai sekarang, aku tidak hanya memperhatikan keindahan sebuah pesta, melainkan apakah yang merayakan pesta merasa bahagia dengan pestanya.

“ Tunggu dulu.”

Kudengar suara berat seseorang menggema melalui mikrofon saat aku hendak mendorong pintu kayu keluar dari ruangan. “ Tetaplah disana, Tesia.”

Apakah itu suara Alex? Tapi mungkinkah?

Maksudku, Alex pasti sedang asyik merayakan pesta bersama semuanya. Tak ada yang bakal tahu kepergianku secara diam-diam, kecuali kalau orang itu memang tengah memperhatikanku.

Astaga, apakah mungkin ia memperhatikanku?



Sambil berusaha menyembunyikan senyuman lebar di wajahku, akupun menoleh.

“ Alex?”

Ya, suara itu memanglah suara Alex. Kini Alex muncul di hadapanku. Lagi-lagi kami beradu pandang secara mendalam, membuat jantungku berdetak 200x lebih kencang dibanding biasanya.

“ Maukah kamu berdansa denganku?” Mendadak ia mengulurkan sebelah tangannya kepadaku.

Berdansa? Seingatku kami tidak pernah memasukkan bagian dansa ke dalam agenda pesta. Atau aku yang salah mengingat yah?

“ Tidak, ini memang tambahan.” jelas Alex sembari mengulum tawa. Tampaknya ia sadar kalau aku menjadi sangat kebingungan dibuatnya.

Oww, ini sama sekali tidak lucu. Aku tidak bisa berdansa, dan kini seorang pangeran tampan malah mengajakku berdansa, di tengah kerumunan keluarganya yang mengagungkan kesempurnaan. Jangan salah, bukannya aku tidak bersyukur atau apa. Aku sangat gembira, hanya saja aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

“ Pegang saja tanganku.” bisik Alex tepat di telingaku. Aku pun menuruti petunjuknya dengan ekstra hati-hati. Kemudian, bisa kurasakan pergelangan tangannya menyentuh bagian pinggang gaunku. Tubuh kami mulai bergoyang dan bergoyang, sesuai irama gesekan musik orkestra.

“ Terimakasih banyak, Tesia.” Alex menggumam sambil berputar. Pandangannya tidak kunjung lepas dariku, “ Kamu adalah wanita paling baik yang pernah kutemui.”

Argh, wajahku merah terbakar. Ya Tuhan, detik-detik seperti ini sangatlah indah. Aku bahkan tidak pernah membayangkannya: kebahagiaan dobel dalam satu pesta!

“ Karena itu,” lanjut Alex setelah terdiam sejenak, “ Aku menyukaimu. Aku jatuh cinta padamu, Tesia. Bersediakah kamu menjadi pacarku?”

Suasana hening seketika.

Kusadari aku telah lama melamun, padahal Alex sedang menunggu jawabanku. Aku juga menyukaimu, Alex , pikirku dengan putus asa, ‘ Tapi orangtuamu tidak akan mungkin menyetujui hubungan kita.’

“ Tesia,” tambah kakek secara tiba-tiba, “ Apakah kamu bersedia menerima cucuku? Dia adalah cucuku yang paling baik, percayalah padaku. Ia tidak akan menyakitimu.“

Wajah kakek tampak sangat berharap. Bibirnya yang keriput kini membentuk seuntai senyuman hangat padaku. Aku tidak mungkin bisa tega menolak cucu kebanggannya ini. Di sisi lain, aku juga sudah terlanjur sayang kepada Alex.

Akhirnya aku mengangguk. Begitu girangnya, Alex langsung memeluk tubuhku erat, dan orang-orang sekitar bersorak-sorai. Samar-samar kulihat, orangtua Alex, yang selama ini begitu kesal padaku, kini malah turut bertepuk tangan untuk kami!

“ Terimakasih kamu bersedia menerima putraku, Tesia. Kujamin kamu tidak akan menyesal.” Ayah Alex datang menghampiri kami berdua dalam balutan jas malam yang tetap tampak mahal dan berkelas. Namun, keningnya tidak lagi berkerut. Sorot matanya bahkan lebih lembut dari yang pernah kulihat. Dan ia tertawa, tawa yang sama persis dengan tawa Alex, “ Terimakasih juga kamu telah menyadarkan kami semua tentang arti kebahagiaan. Kuakui, kami memang agak keras kepala serta sombong pada awalnya, tapi kami benar-benar kagum atas keberanianmu untuk mengubah cara pandang kami.”

Tit Tit Tit



Aku terlompat kaget dari lamunanku. Astaga, aku telah melewatkan 15 menit secara cuma-cuma hanya karena menatap profil website kebangganku. Memang, aku sengaja berbagi cerita mengenai pesta cintaku bersama kakek dan Alex kepada klien-klienku di profil utama, dan setiap aku membacanya ulang, aku selalu terharu. Klien-klienku juga selalu tertarik untuk mengetahui kelanjutan kisah asmaraku dengan Alex.

“ Tahun depan, kami berencana untuk bertunangan.” gumamku sambil tersipu malu, “ Dan aku harap, di pesta pertunangan kami akan terjadi keajaiban pesta lainnya.”





--- Tamat ---





















No comments:

Post a Comment