Thursday, February 16, 2012

cerpen Maaf yang Terlambat








SATU





Sore itu mendung, gelap, dan senyap. Di tepi danau hijau, samar-samar terdengar isak tangis seorang pria. Pria itu bersandar lunglai, berusaha menahan duka serta securah penyesalan yang mendalam. Kalau saja waktu bisa diputar kembali, ia pasti akan mengubah segalanya. Ia tidak mungkin menyia-nyiakan saat terakhir wanita yang ia kasihi. Kalau saja ia tahu akibatnya seperti ini, ia tidak mungkin menerima ajakan iseng teman-temannya. Karena itu, ia sangat menyesal. Ia sadar bahwa sebuah kesalahan telah terjadi, dan kesalahan itu harus dipikul selalu..seumur hidupnya…



Pria itu bernama Edward. Ia sangat tampan dan populer di sekolah. Semua orang meyukainya. Pergaulannya juga luas. Hanya saja, karena tampan dan banyak yang naksir, Edward tebar pesona kepada setiap wanita. Ia suka menerima tantangan teman-temannya untuk mendekati berbagai tipe wanita, dan membuat mereka terpikat olehnya. Bila sampai ada yang menyatakan perasaan, Edward dengan sopan menolak, toh ia hanya iseng, bukan benar-benar ingin berpacaran.



Sampai suatu pagi, Edward menerima tantangan terakhir yang mungkin sanggup dipenuhinya, yaitu mendekati anak baru yang sangat cantik. Namanya Wenda.



Tantangan yang mudah, pikir Edward sambil tersenyum. Ia sudah mendapatkan foto wanita itu dari teman-temannya. Benar-benar cantik, nyaris mendekati sosok bidadari. Pasti feminim, pasti manja, pasti cengeng; bayangnya.
Edward mulai menyusun siasat. Bagaimana memulai pendekatan yah? Kenalan langsung? Ah, jangan! Cara itu membosankan. Hm..lebih baik perkenalan yang terkesan tak disengaja.



Lagi-lagi Edward tersenyum. Ia memakai helm dan menyalakan mesin sepeda motornya. Berdasarkan informasi, setiap pulang sekolah Wenda pasti melewati pintu gerbang belakang. Mumpung sedang hujan dan jalanan berlumpur, Edward memutuskan untuk ngebut agar air yang menggenang bercipratan ke seragam Wenda. Wenda yang manja pasti mengeluh panjang, sehingga Edward bisa mencuri kesempatan untuk meminta maaf dan mengantarnya pulang. Genangan air hujan yang mengawali pertemuan, haha..keren! Wenda pasti akan selalu mengingatnya



Terlalu lama melamun, Edward tidak menyadari kalau Wenda sudah melewatinya. Langkah wanita mungil itu sungguh cepat. Bahkan, ia akan segera tiba di perempatan jalan raya.



Sesuai rencana, Edward mengebut. Tetapi Edward terlalu terburu-buru sampai ia sendiri kehilangan keseimbangannya. Dan yang lebih parah lagi, ia menabrak..sasarannya!




Wenda tersungkur. Payung kuning yang tadi dipegangnya melayang ke udara. Buku-bukunya berjatuhan. Edward jadi merasa bersalah. Bukan ini maksudnya. Bukan inilah tujuannya. Edward lekas menghampiri Wenda, “ Kamu baik-baik saja?”


Ia sangat terkejut mendapati Wenda yang terluka parah. Dagunya yang manis berdarah. Lututnya juga. Edward langsung menawarkan punggungnya kepada Wenda. Sudahlah, masalah berkenalan nanti saja. Atau kalau bisa, lupakan saja. Edward telah mencelakainya. Setampan apapun dirinya, Wenda pasti sudah sentimen terhadapnya.



Tak disangka, Wenda malah tersenyum. Senyumnya indah sekali, meskipun dagunya yang terluka pasti terasa perih. “ Saya tidak apa-apa. Bukan salahmu kok, saya sendiri yang berjalan terlalu tengah. Maafkan saya..”



Belum pernah. Edward belum pernah bertemu perempuan sebaik Wenda. Masa dia tidak sedikitpun menyalahkan Edward, malahan menyalahkan dirinya sendiri? Sama sekali tidak cengeng. Sama sekali tidak manja. Sama sekali di luar prediksi Edward selama ini.



Perjumpaan pertama mereka tidak berlangsung lama. Wenda masih tampak terburu-buru. Ia tidak mau merepotkan Edward untuk mengantarnya pulang. Meskipun kakinya terluka, ia berusaha berjalan seperti biasanya. Wenda bahkan tidak mau membuat Edward merasa bersalah.



Perlahan-lahan, punggung Wenda menghilang di ujung jalan. Edward masih tercegang, tidak mampu bergerak. Wenda...jangan pergi dulu.., itulah yang terus ia gumamkan.

DUA
“ Hei, kok bengong? Gimana?”



Edward tersentak. Ia menyadari teman-temannya sudah mengerumuninya.




“ A...apanya yang gimana?”



“ Berhasil? Sudah kenalan belum?”



Edward menggeleng pelan. Belum, mereka belum sempat berkenalan. Tetapi ia sudah membulatkan tekad untuk berkenalan dengan Wenda besok. Harus! Sekaligus minta maaf.




“ Ingat yah, kalau kamu tidak serius, kenalkan dia pada kami. Kami tidak tega melihat wanita secantiknya menangis ditolak olehmu!”


Benarkah? Edward teringat perbuatannya selama ini. Mendekati para wanita, memberikan perhatian lebih, sampai mereka jatuh cinta padanya. Pada akhirnya



Edward hanya menolak curahan perasaan mereka dengan sopan. Tidak sedikit wanita yang hatinya terluka dibuat olehnya. Lalu, apakah Wenda juga? Apakah Edward bisa setega itu kepada Wenda? Wenda yang tidak menyalahkan orang lain, malah menyalahkan dirinya sendiri, sungguh wanita yang rendah diri. Apakah Edward sanggup melihatnya menangis? Tidak, Edward tidak sanggup. Edward tidak mau membuat Wenda menangis.



Keesokan harinya, Edward mulai menanti-nanti kedatangan Wenda. Melihat sosok Wenda saja sudah membuat Edward gembira. Ia sempat bercermin sesaat pada spion motornya. Sudahlah Edward, wajahmu tetap setampan dulu. Tetapi..entahlah.



Rasanya tampan bukanlah jaminan untuk bisa mendekati Wenda. Wenda sendiri sangat cantik, apakah dia sudah punya pacar di luar yang jauh lebih tampan? Mungkin saja.




Sosok Wenda semakin dekat. Hari ini Wenda tampak cantik sekali, malahan tambah cantik dibanding kemarin. Rambutnya yang biasa diikat ke belakang kini tergurai. Rambut yang hitam, lurus, panjang sebahu. Wajah Wenda tetap dihiasi senyuman manisnya. Wenda..Wenda...


Edward jadi salah tingkah. Sekarang Wenda telah menyadari keberadaannya, membuat Edward bingung harus bagaimana. Menyapanya? Keberanian Edward menciut seketika. Edward hanya bisa garuk kepala.



Lagi-lagi, sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Wenda-lah yang duluan menyapa Edward, “ Hai.” Suaranya sangat halus. Sehalus awan putih di pagi hari itu. Edward jadi malu untuk membalas dengan suara prianya yang terlalu berat, “ Hai juga.”




Edward melongok ke lutut Wenda. Tampaknya sudah baikan, sudah ditempeli plester. Dengan sigap, matanya mengarah ke dagu Wenda. Sudah tidak berdarah, hanya saja lecetnya tetap membekas.


“ Namaku Wenda.” Wenda mengulurkan tangannya, membuat hati Edward berbunga-bunga. Tidak perlu bersusah payah lagi, Wenda si baik hati yang mau berkenalan dengannya!



“ Edward...kelas IIIB..”



“ Wenda, kelas IIID. Edward ikut klub apa?”



“ Klub pemotretan. Wenda?”



“ Saya ikut klub melukis. Saya kira kamu juga anggota klub melukis. Soalnya, saya pernah melihatmu ikut kegiatan pengamatan danau musim gugur tahun lalu..”


Wenda sudah pernah bertemu Edward sebelumnya? Aih, hal itu membuat Edward malu. Edward mengikuti kegiatan pengamatan danau tahun lalu kan semata-mata Cuma ingin dekat dengan seorang guru wanita baru. Tantangan tersulit yang pernah ia terima dan ia gagal. Ia ditampar di hari terakhir kegiatan. Guru muda itu ternyata sangat galak!


Sekarang Wenda mengiranya benar-benar tertarik dengan alam. Ataukah Wenda tahu? Wenda sebagai salah satu perserta pasti pernah mendengar kasus penamparan tersebut. Maka, Wenda sengaja menanyakan Edward kembali soal ini?



“ Tapi klub pemotretan juga hebat. Selain melukis, saya juga suka memotret. Pemandangan yang indah selalu kupotret untuk kujadikan model lukisanku.”



Tidak, Wenda bukan sengaja menanyakannya. Wenda pasti tidak tahu. Lihatlah, matanya yang jernih. Sungguh polos, sungguh tulus. Edward sudah memutuskan di dalam hatinya, untuk segera memikat Wenda. Kali ini, ia benar-benar menyukai wanita yang dipikatnya!




Berbagai carapun mulai dilakukan. Mendapatkan Wenda bukanlah hal yang mudah. Wenda tidak tertarik dengan penampilan dan ketampanan. Wenda tipe wanita yang mencintai jiwa dan kepribadian seseorang. Edward harus mampu menunjukkan daya tarik itu. Maka, Edward sering mengajak Wenda ke danau belakang sekolah.




Disanalah mereka bisa saling mengenal secara mendalam. Disanalah mereka bisa memotret bersama. Disanalah terpupuk kenangan-kenangan indah, yang menjadi saksi kemurnian cinta mereka. Edward mencintai Wenda. Diam-diam, Wenda juga memendam perasaan demikian…




Edward berencana untuk menyatakan isi hatinya kepada Wenda, sebab Edward sudah tidak sanggup menampungnya lagi sendirian. Ia sudah menyusun semuanya, dimulai dari mengajak Wenda makan malam romantis di pinggir danau, memotret bersama, serta diakhiri ‘penembakan’ busur panah cinta. Namun, sebelum Edward berangkat, ia dihentikan oleh teman-temannya.





“ Tampaknya…seseorang sudah melewati batas…”





“ Ya. Dulunya dia berjanji hanya mendekati Wenda sementara saja, lalu meninggalkannya. Dia telah melanggar janji kita! Dia tamak!”
Edward menyadari kemarahan teman-temannya. Sebenarnya, dia ingin menjelaskan kepada mereka. Namun, salah satu temannya tampak sangat emosi.“ Aku yang duluan menginginkan Wenda! Sudahlah, jangan bermain api lagi, cepat putuskan Wenda! Kamu kan tidak ada perasaan kepadanya! “



Edward terdiam. Bukan begitu. Edward mempunyai perasaan kepada Wenda. Hanya saja dia tidak mungkin memberitahukan mereka sekarang. Masalah bisa jadi panjang.



Mereka pasti akan menghalanginya untuk pergi bertemu Wenda lagi, padahal sekarang Wenda sedang menunggunya di tepi danau.



“ Tidak. Kalian tenang saja. Aku tidak suka padanya. Aku akan segera meninggalkannya..”



Dengan begitu, Edward mengira semuanya akan lebih aman. Dia bisa menemui Wenda, jujur menyampaikan kepada Wenda mengenai misi awalnya yang iseng agar Wenda tidak salah paham, kemudian mencurahkan isi hatinya, dan kembali kepada teman-temannya untuk mengatakan kalau dia sudah berpacaran dengan Wenda.



Tapi, siapa sangka, Wenda tidak sedang menunggu di danau. Wenda sedang berada tidak jauh darinya, bersembunyi di antara pepohonan, mendengar seluruh pembicaraan termasuk kata-kata terakhir yang keluar dari bibir Edward. Kata-kata itu terlalu tajam, tepat menusuk lubuk hatinya. Wenda sangat terkejut, sampai nafasnya tersengal-sengal dan meneteskan air mata. Tangisannya semakin keras, sehingga Edward menyadarinya.



“ Wenda?! Kenapa kamu ada disini?”



Begitu tergagap-gagapnya, Wenda menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, “ M…maaf Edward! Aku tidak bermaksud menguping pembicaraan kalian. Hanya saja, barang-barangku tertinggal.”



Edward mendapati bahwa Wenda tidak berani menatap matanya. Wenda gemetaran, dan ia terus menangis meskipun ia berusaha menahannya. Lalu, Wenda memunggut buku melukisnya yang memang ketinggalan di rerumputan. Ia berlari pergi..



“ Wenda! Wenda!” Edward hendak mengejar, tapi ia ditahan teman-temannya.



“ Kamu sudah berjanji untuk meninggalkannya! Ini saat yang tepat! Untuk apa kamu mengejarnya lagi?”




Edward berusaha meloloskan diri dari kesepuluh orang temannya, namun ia tidak sanggup. Mereka terlalu memaksa. Edward sangat menyesal. Sungguh sangat sangat menyesal. Andai saja dia berani mengatakan langsung kepada teman-temannya saat itu bahwa betapa ia mencintai Wenda, setidaknya tidak akan berakhir begini. Wenda pasti marah, bukan hanya marah. Entahlah, Edward terus berfirasat buruk kalau dia tidak akan pernah bertemu dengan Wenda lagi untuk selama-lamanya.


Ternyata firasat Edward benar. Malam harinya, Edward menelepon Wenda. Namun bukan suara lembut Wendalah yang ia dengar, melainkan kabar kematian Wenda. Wenda terlalu sedih, perasaannya sangat kacau, sehingga di saat ia berlari menjauhi Edward, ia tidak memperhatikan sekitar dan tertabrak truk yang melintas. Wenda yang cantik dan baik hati meninggal dengan tragis dikarenakan Edward. Kisah cinta mereka yang indah pun diakhiri dengan maut. Kenangan-kenangan yang selama ini dilalui bersama seakan terkubur percuma di tepi danau hijau di belakang sekolah…



Hujan mulai turun, setetes demi setetes, membasahi ujung rambut Edward sampai ke permukaan tubuhnya. Namun ia sama sekali tidak berekasi. Ia membiarkan dirinya basah. Sebab, hujan seperti ini sungguh melambangkan air matanya untuk Wenda.



“ Wenda, maafkan aku! Sebenarnya…aku mencintaimu! Apa kamu dengar itu Wenda? Aku mencintaimu!”
TAMAT

No comments:

Post a Comment