Thursday, February 16, 2012

cerpen Di Kamarku ada Makhluk luar angkasa


P.S. Anggaplah makhluk luar angkasanya adalah Kim Bum ;p



Sekilas, kamar kosku terlihat biasa saja: sempit, sesak, pengap, penuh dengan tumpukan buku dan majalah. Ini adalah hal yang wajar bagi orang-orang stress sepertiku. Namanya juga stress, kepala penuh dengan benang kusut, mana ada niat merapikan lagi.

Tapi kebenarannya tidak sesederhana itu. Siapa bilang, aku, seorang Olive, tidak mempunyai sesuatu yang spesial di kamar? Ha? Sampai sekarang membaca, kalian masih menganggap remeh diriku kan? Kalian menilaiku sebagai tokoh membosankan yang memiliki jalan hidup berbasis takdir kan? Hoho, jelas aku marah dan tersinggung! Kalian akan menyesal telah menilaiku seperti itu!

Kuberitahu yah, di kamarku ada makhluk luar angkasa! Terkejut? Percaya tidak percaya, itulah kenyataan. Kenyataan yang membuatku yah...sedikit gembira. Setidaknya, aku bersyukur telah bertemu dengannya. Bisa dibilang, dia adalah intan permata dalam hidupku yang payah.

Sampai sekarang, otakku sendiri masih tidak sepenuhnya menerima. Kadang di saat aku terbangun dan melihatnya duduk di sampingku, aku mengira diriku sedang mengalami mimpi indah. Itu loh, mimpi yang bisa buat kita senyum-senyum sendiri meskipun kita sudah lupa isi mimpinya.

Soalnya makhluk luar angkasa yang nyasar di kamarku tampan sekali! Sosoknya jauh berbeda dengan yang kutonton di kartun (kalo dia sejelek yang dikartun, sudah kubuang sejak awal, tidak mungkin kupertahankan lagi). Wajahnya mirip manusia, bahkan sangat mirip. Menurut analisaku setelah kuliah 3 tahun jurusan Ekonomi (entah ada hubungannya gak yah), aku merasa kalau dia bukan ‘alien’ total, namun dia yang jenis campuran gitu, campuran manusia dengan alien. Aduh, gimana menjelaskannya yah...hm...fisiknya manusia kelakuannya alien. Nah, itu tepatnya!

“ Albern, saatnya mandi! Kamu sudah hapal caranya mandi?”

Albern, si makhluk luar angkasa tampan itu mengangguk. Lalu ia meletakkan majalah yang sedang dilihatnya, meraih handuk dari gantungan, dan masuk ke kamar mandi. Bahkan, aku sempat mendengar suara pintu kamar mandi dikunci.

Albern memang hebat. Dia jenius. Sekali melihat langsung ingat. Makanya aku memberikannya banyak sekali buku untuk dilihat (dilihat, bukan dibaca, sebab dia belum kuajari untuk membaca). Buku yang kuberikan kebanyakan buku anak kecil, yang penuh gambar dan mengajarkan hal-hal mendasar kehidupan manusia, misalnya mandi. Alien asli kan tidak mandi!

Terserah kalian deh, mau menuduhku egois atau apa. Aku juga sering menuduh diriku sendiri seperti itu. Dia alien, Olive. Dia bukan manusia dan dia tidak boleh dipaksa jadi manusia. Namun, semenjak dia datang, dia sangat patuh kepadaku. Dia rela meninggalkan sifat-sifat anehnya bila terus kunasehati dan kunasehati. Dia mau saja belajar hal baru. Jadinya, terpikir olehku untuk merubahnya menjadi manusia benaran. Dengan begitu, dia bisa menjadi pacarku yang tampan dan memiliki sifat baik. Pacar yang sempurna.

Siapa suruh dia datang di waktu yang salah? Di catatan harianku jelas tertulis kalau Albern datang secara tiba-tiba pada hari Sabtu, tanggal 6 Juni, pukul lima sore. Saat itu, aku kan sedang mengurung diri di kamar, menangis, menutupi wajahku dengan bantal, guling, selimut, dll. Pokoknya, dengan suasana hati yang lebih stress dibandingkan sekarang. Please, jangan tanyakan kenapa....hei, kalian terus memaksa! Baiklah, alasanku adalah alasan yang umum bagi seorang perempuan untuk menangis, yaitu: diputusin pacar.

Pacarku, ups, mantan pacarku, sungguh jahat. Aku tak menyangka, dia yang selalu baik padaku, ternyata hanyalah akting semata. Harusnya aku curiga, dia yang selalu memintaku traktir. Harusnya aku sadar, sedari awal dia banyak menghabiskan uangku. Padahal aku sangat jago di bidang ekonomi, namun untuk masalah keuangan pribadi, aku selalu kebingungan mencari faktor defisit.

Hari itu, mentang-mentang aku sedang kehilangan pekerjaan sambilan, mentang-mentang dirimu sudah ada yang taksir lagi, Albert, kau tega mengata-ngataiku! Aku masih ingat bagian yang paling menyakitkan, kamu bilang aku bau badan, berlemak dan berjerawat! 3B!

Di saat hatiku hancur, kaca jendelaku ikutan hancur. PRANG!!Sangkin terkejutnya, aku sampai ngomel sendiri “ Mampuslah! Uang kos bulan lalu masih ngutang, sekarang apa lagi?!” Apakah ini perbuatan anak-anak nakal yang bermain bola? Kalau iya, rasakan emosi gadis jomblo berusia 24 tahun yang naik 5 kg dalam sebulan terakhir! Hiat!

Di saat aku berusaha bangkit dari tidurku, yang kutemukan bukanlah bola kaki anak-anak, melainkan...piring terbang dengan aliennya, satu set! Sebagai reaksi pertama aku tertawa. Haha, lucu sekali! Ada piring terbang menabrak kaca jendela kamarku, dan menerobos masuk. Piring terbang dan alien itu lebih mirip cowok tampan dan motor mini adiknya. Maksudku, piring terbang itu sangat sempit, hanya muat untuk diduduki si cowok, itupun seperti dipaksa-paksa.

Sedetik kemudian, aku melakukan aksi ‘teriak besar-besaran’. Ternyata, aliennya tak berpakaian sama sekali, tubuhnya...tubuh seorang pria! Dan...kalo dipikir-pirkir, kenapa aku?! Kenapa kamarku?! Apa misinya, menghancurkan bumikah?!
Lain pula saat si alien selesai berpakaian. Hatiku langsung luluh. Meski kuberi T-shirt pink dan rok mini karena hanya itu yang masih bersih, dia tetap saja tampan! Bayangkan, dia rada-rada mirip Kim Bum dari BBF. Aku mencoba untuk berpikiran irasional, yah so what dia alien, yang penting aku tetap berteman dengannya. Dia juga menjelaskan, dengan bahasa campuran (bahasa manusia dicampur musik techno), bahwa piring terbangnya rusak, membuatnya seperti penumpang pesawat yang terdampar. Aku suka suaranya yang keren. Aku suka wajahnya. Akhirnya, aku menyilahkannya tinggal di tempat teraman di muka bumi, yaitu di kamar kosku. Cie...siapa sangka kan?

Seminggu pertama, aku tidak bepergian kemanapun. Aku sampai bolos kuliah, karena aku harus terus menemaninya. Aku masih asing dengannya dan dia masih asing dengan dunia ini, makanya lebih baik jangan ditinggal sendiri. Lalu, aku mulai mendapati banyak sekali hal aneh, misalnya bola matanya. Mulailah berpikir irasional lagi: dia seorang alien (aih, seorang atau seekor yah?), boleh-boleh saja dong dia merubah warna matanya sesukanya tiap dua menit. Kuperhatikan ada urutannya, yaitu biru, ungu, pink, merah, kuning terang, kuning emas, dan jingga. Percayalah, meski tampak seperti mata berdarah, warna merah paling cool untuknya.

Ada lagi, dia tidak bisa lapar, tapi juga tidak bisa tidak makan. Makan baginya hanya sekedar keinginan bukan kebutuhan. Keinginan yang muncul setiap saat. Misalnya, ada seekor cecak lewat, pas keinginannya sedang timbul, maka lidahnya akan mencuat panjang sekali lalu..HAP! Dikunyah deh cecaknya. Menyaksikan kejadian itu untuk pertama kalinya, aku muntah-muntah sampai dua hari. Sekarang sih sudah terbiasa. Kalo Albern kuajak ke restoran, dia akan makan makanan yang dipesan, tapi aku tetap harus ingat untuk menghentikannya sebelum dia memakan piring dan sendoknya sekaligus.

“ Honey, kenapa kamu memberiku nama Albern?”

Suatu hari, aku dikejutkan dengan pertanyaannya itu. Dia menanyaiku atas latar belakang apa aku menamainya. Sudah kuduga, alien itu tidak bodoh. Tapi...apakah alien memiliki perasaan? Apakah dia bisa sedih atau marah mendengar jawabanku? Adakah emosinya? Aku tidak tahu. Aku sudah mengecek internet, membaca ensiklopedia, sampai bertanya ke dosen. Tidak ada yang benar-benar tahu. Mungkin iya, mungkin juga tidak.

“ Karena...karena...aku belum bisa melupakan mantan pacarku, Albert. Meski dia telah menyakitiku, aku masih sayang padanya. Aku masih ingat saat-saat aku naksir padanya, saat-saat aku mengamati dirinya dari jauh. Aku tidak rela kalo dia memutuskanku. Aku tetap ingin menjadi pacarnya. Lalu kamu tiba-tiba datang. Kamu hadir dan selalu menemaniku. Aku melatihmu untuk menjadi baik dan wajar...aku bahkan menyuruhmu memanggilku ‘sayang’. Aku telah mengaturmu untuk menjadi pengganti Albert di hatiku..maafkan aku, Albern...”

Tidak kusangka, jari-jarinya menyentuh wajahku. Albern berusaha menghapus air mataku. Aku memang pernah mengajarinya untuk berkata “tidak apa-apa” setiap mendengar kata “ maaf”. Lihatlah, betapa egoisnya aku. Aku telah memprogramnya untuk menjadi pacar yang senantiasa memaafkan. Pacar sempurna yang sesungguhnya, di kehidupan nyata, tidak pernah ada. Tapi entahlah, aku tidak pernah mengajarinya untuk menghapus air mataku. Apakah dia pernah melihatnya dari televisi atau tindakan alamiahnya sendiri? Apakah dia memiliki perasaan itu? Ia melakukannya dengan sangat lembut, matanya bahkan menatapku dengan tulus, seakan memberitahuku kalo dia tidak marah sedikitpun, kalo dia mau saja menemaniku, melewati tiap kesedihan dan kesepian...

Keesokan harinya, sikapku menjadi berbeda kepadanya. Aku mulai ada perasaan tersendiri terhadapnya. Di mataku, Albern bukanlah lagi figuran dari Albert. Bagiku Albern jauh lebih berharga daripada Albert. Dia lebih menyanyangiku. Dia tidak berpura-pura demi uang. Dia tulus. Dia menerimaku apa adanya. Yang membuatku kecewa adalah kenyataan bahwa dia adalah alien. Manusia tak mungkin berpacaran ataupun menikah dengan seorang alien, meskipun aku telah mencoba berpikir lebih irasional lagi.

Kejadian beberapa malam ini menjadi beban pikiran terbesarku. Dalam kegelapan, dalam tengah kesadaranku, aku melihat Albern. Dia tidak sedang melihat buku. Dia tidak sedang menonton televisi. Dia malah melongok keluar jendela, pandangannya mengarah ke langit. Aku mengikuti arah telunjuknya...dan terperangah! Ada banyak sekali piring terbang melayang di sana, semuanya sejenis dengannya. Mereka melambai-lambai kepada Albern, seperti memanggilnya untuk ikut. Tapi Albern tidak bisa melakukannya. Pintu jendela kukunci dengan ketat. Piring terbang Albern yang sebenarnya masih bisa digunakan telah kusimpan di tempat yang tidak diketahuinya. Dengan begitu, dia tidak mungkin bisa pergi lagi.

Malam-malam selanjutnya tetap begitu. Mereka terus memanggil Albern, tapi Albern menggeleng tidak berdaya. Albern tidak bisa pergi...dan juga tidak tega untuk pergi. Dia bahkan tidak pernah menceritakannya kepadaku tentang panggilan teman-temannya. Dia tidak mau membuatku sedih. Apakah aku bisa sejahat itu? Apakah aku tetap bersikeras menahan dirinya yang lebih mementingkan perasaanku dibanding perasaannya? Tidak, aku tak bisa. Aku sadar aku membutuhkannya, karena bersamanya, aku melalui hari-hari bahagia. Namun, di sisi lain, dia juga membutuhkan teman-temannya. Dia pasti merindukan kehidupan awalnya di planet lain.

Maka, malam ini, aku telah memutuskan untuk merelakannya. Aku mengembalikan piring terbang yang telah kuperbaiki sendiri. Aku membukakan jendela lebar-lebar untuknya. Dengan antusias, dia masuk ke piring terbangnya, tapi saat dia hendak menyalakan mesin, dia berhenti. Dia menatapku, dengan raut wajah sedih.
“ Albern, lekas pergi!”

Dia menggeleng, tidak bersuara, hanya deru nafasnya yang beraliran musik techno..

“ Albern, lekas pergi! Aku tidak mau lagi menahanmu!”

Aku bersikeras mendorongnya. Piring terbangnya mulai melayang, tapi tangannya memegang erat tanganku, susah untuk melepaskanku..

“ Baiklah! Lain kali, kamu boleh datang mengunjungiku lagi, dengan syarat tidak boleh nabrak masuk lagi yah! Kamu kan bisa seperti teman-temanmu, melambai-lambai di atas langit, dan aku akan membalas lambaianmu!”

Aku tersenyum, mengelus-elus kepalanya, berusaha melapangkan hatiku sendiri. Mungkin, ini terakhir kalinya aku bisa mengelus kepalanya. Aku pasti akan sangat merindukannya..

Karena Albern alien yang paling patuh, dia mau mendengarkanku. Sosoknya perlahan-lahan menghilang dalam gelapnya langit malam. Memang menyedihkan, namun kali ini aku cukup tabah. Selama sebulan ini, Albern telah memberikan banyak hal spesial dalam hidupku yang hambar.
Meskipun dari luar aku hanya mahasiswi biasa-biasa saja, tapi aku menyimpan rahasia misterius. Aku mempunyai segudang pengalaman luar biasa bersama alien di kamar kosku ini. Aku yakin, tidak ada seorangpun yang pernah mengalaminya, iya kan? Maka dari inilah, aku mengubah pandanganku terhadap diri sendiri. Aku bukanlah orang yang biasa-biasa saja. Aku adalah orang yang spesial. Mungkin inilah misi Albern datang ke dunia ini. Ia datang untuk menyadarkanku..


-Selesai-


No comments:

Post a Comment