Thursday, February 16, 2012

Cerpen Dentingan Piano




“Aurel? Kamu melamun yah?”


Suara ibu guru barusan mengagetkanku. Aku tersadar kalau aku masih berada di ruangan kelas. Aku sedang belajar bermain piano di bawah bimbingan Ibu Siska. Ibu Siska adalah guru yang paling berpengalaman di sekolah musik ini. Banyak anak didiknya yang berprestasi dalam ajang kompetisi musik, baik yang nasional maupun internasional. Aku juga ingin berprestasi, makanya aku harus belajar dengan giat.


“ Ibu perhatikan, kamu sering melamun. Apa yang kamu pikirkan?”


Aku menggeleng, lalu lanjut mendengarkan penjelasan Ibu Siska. Hari ini Ibu Siska memberikanku PR. Untuk pertemuan selanjutnya, aku harus sanggup memainkan mahakarya Bach ini. Tampaknya susah, namun melodinya indah sekali. Aku harus bisa. Bukankah demi lagu ini aku telah berjuang belajar piano? Belajar dari awal, belajar membaca not balok, belajar menyesuaikan tempo, belajar menyelami melodi lagu, sampai akhirnya ke lagu ini.


Setelah menyimpan buku-bukuku ke dalam tas, aku pun membulatkan tekad untuk langsung berlatih sepulang dari sini, dan aku benar-benar melakukannya. Setiba di rumah, aku duduk di depan pianoku. Aku membelai permukaannya yang licin. Aku membukanya, menaruh pergelangan tanganku di atas tuts hitam putih. Mataku berkaca-kaca.




Disinilah aku selalu terharu mengenang Claudia. Claudia, aku sangat merindukanmu. Aku tahu kamu sedang bekerja keras demi meraih impianmu. Disini, di bangku ini juga, aku mendoakanmu. Semoga kamu bisa menjadi pemain piano yang hebat, pemain piano yang menghasilkan nada-nada yang menyentuh perasaan semua pendengar. Aku yakin kamu bisa, karena sebelumnya, kamu telah berhasil membuatku tersentuh dengan lagu kesukaanmu, lagu yang kini sedang kupelajari.


Claudia adalah salah seorang sepupuku. Kami seumur, tetapi jarang bertemu. Rumahnya jauh dari rumahku. Lagipula, entahlah, dulu aku selalu merasa malas untuk bergaul dengannya. Mengapa? Setelah kupikir-pikir, mungkin karena gengsiku.




Karena dia berbeda, karena dia buta. Meski rupanya cantik sekali, apalagi kedua bola matanya yang teduh dan indah, dia terlahir buta. Dia tidak pernah melihat dunia.




Tidak seru, tidak ada yang bisa diobrolkan dengannya. Pasti dunia terasa gelap baginya, pasti dirinya sangat membosankan. Itu jelas anggapan yang salah, sampai suatu hari aku benar-benar mengenalnya.
Liburan panjang tahun lalu, aku cemberut berat. Aku kesal atas keputusan orangtuaku yang pergi berlibur bersama orangtua Claudia ke luar negeri tanpa mengajakku. Malahan, mereka mengundang Claudia tinggal di rumahku agar ada yang menemaniku. Aku tahu ini hal yang disengaja. Mereka hanya ingin aku dekat dengan Claudia.


Pertemuan pertama dengannya setelah beberapa tahun tidak bertemu, sudah membuatku malas. Lihatlah, sekarang dia sudah remaja, sama sepertiku. Dan...harus kuakui, dia jauh lebih cantik dibanding diriku. Apalagi kedua bola matanya yang buta.




Tiap kupandang matanya, timbul rasa iri. Dia kan buta, untuk apa dia memiliki mata seindah itu? Kenapa Tuhan tidak berikan saja mata itu kepadaku? Aku pasti sangat bangga memilikinya, menggunakan mata itu untuk tampil percaya diri di hadapan orang-orang. Kalau dia yang buta, kan tidak apa-apa memiliki mata yang biasa saja, toh dia tidak bisa melihat.


Kudapati bahwa dia sangat baik. Masa baru bertemu saja, dia langsung memelukku. Dia membuatku berpikir, apakah aku bisa sebaik dirinya? Tidak, aku pasti akan jahat padanya, sebab aku adalah jenis orang yang tidak bisa menahan rasa iri. Aku mempunyai tabiat egois, layaknya seorang anak tunggal. Dia bisa saja menangis karena ulahku.


Malam harinya, penghuni rumah hanya tersisa kami berdua. Aku tidak berminat mendekatinya, lebih memilih untuk membaca komik saja. Akan tetapi, dia sendiri yang mendekatiku. Dia mengetuk pintu kamarku.


Sambil mendecak sebal, aku pun membukakannya. Tidak kusangka, dia membawakanku cemilan! Cemilan buatannya sendiri sangat lezat sampai-sampai aku melahap habis semua, dan dia terkekeh-kekeh. Astaga! Dia punya lesung pipi yang manis. Aku iri. Aku kan selalu menginginkan lesung pipi. Dan dia, si buta yang bahkan tak pernah melihat wajahnya sendiri, memilikinya!


Hari kedua. Aku terbangun sekitar pukul tujuh, sepagi itu, dikarenakan suara dentingan piano. Aku mencari dari mana asal alunan nada lembut yang sedikit menggugah hatiku. Sudah lama tidak mendengarkan ketenangan yang klasik.




Ternyata Claudia yang memainkannya. Kudapati dia sedang duduk di atas bangku yang kududuki sekarang, masih tetap buta, tapi luar biasa. Bagaimana bisa seorang yang buta sejak lahir begitu mahir melontarkan jemarinya di atas tuts? Lalu, rasa iripun muncul kembali. Kenapa dia bisa? Kenapa aku tidak? Kenapa semuanya begitu tidak adil? Kenapa seakan-akan segala kelebihan ada padanya, tidak padaku?


Menyadari aku sudah bangun, Claudia berhenti memainkan lagu itu dan tersenyum padaku. Ia berjalan ke arah meja makan, dituntutun tongkat panjang yang selalu dibawanya.


“ Selamat pagi Aurel. Aku sudah membuatkan sarapan tapi entah sesuai
seleramu atau tidak.”
Sarapan! Dia membuatkan sarapan yang amat membangkitkan seleraku. Sudah kuduga, dia pintar memasak.


“ Claudia, kenapa sih, kamu selalu bisa.”
Aku tidak percaya, aku telah mengucapkannya. Baiklah, karena sudah terlanjur, biar kucurahkan saja semua pemikiranku.


“ Kamu kan buta, tapi kamu kok bisa memasak, bisa main piano, bisa melakukan pekerjaan rumah lainnya, bahkan bisa merangkai bunga? Apakah hal itu tidak sulit bagi orang buta sepertimu?”


Aku kira dia akan segera menangis pagi itu juga. Nyatanya tidak. Lagi-lagi ia memberiku senyuman sambil tersipu malu,” Justru karena sulit, aku selalu berusaha tiga kali lebih keras daripada orang lain. Dengan begitu, aku bisa menjadi lebih baik dari kemampuanku yang sebenarnya.”


Beberapa hari berlalu. Aku menjadi terbiasa dibangunkan dengan dentingan piano yang merdu. Aku terbiasa menikmati sarapan pagi buatannya yang bergizi. Aku terbiasa mendengar optimisme dalam setiap perkataannya. Aku terbiasa dengan kehadirannya, bukan berarti aku sudah menerimanya. Terkadang, aku kelepasan ngobrol dengannya, bahkan tertawa bersamanya. Jangan salah, suasana seperti itu hanya berlangsung sesaat. Perasaan lama cenderung muncul kembali. Rasa iri membuatku sebal lagi padanya. Rasa gengsi membuatku lebih menahan diri darinya.




Aku mulai menciptakan jurang pemisah antara aku dan dia. Hasilnya, kami kembali seperti awal.


Sampai suatu hari, emosiku benar-benar meledak, saat kutemukan dirinya dan Samuel. Kenapa Samuel bisa ada disini, di dalam rumahku? Kenapa Samuel terlihat begitu antusias, begitu senang, saat berbicara dengannya? Bahkan banyak adegan tertawa. Hatiku sakit, bagaikan teriris silet. Aku tak mau menyaksikan pemandangan kejam itu. Samuel tidak seharusnya duduk di samping si buta. Samuel tidak seharusnya melirik perempuan buta, sebab aku...aku yang selama ini menyukainya.




Meskipun Samuel tidak mengenalku, tapi aku mengenalnya. Aku menyukainya sejak awal. Aku yang selalu mengharapkannya. Bukan Claudia! Curang sekali dia! Mentang-mentang dia cantik dan menarik, ia mau merebut semuanya dariku!


Timbul kebencian, seperti percikan api yang membesar, membesar, dan membesar, sampai berkobar-kobar. Sesudah memastikan Samuel telah pergi, aku menghampiri Claudia. Aku merebut tongkatnya, dan menyimpannya di tempat yang tidak mampu dirabanya. Aku mendorongnya sampai jatuh. Aku menyindirnya. Aku membuang jatah makanannya setelah perutku sendiri kenyang (padahal itu masakannya). Yang paling parah, aku mengunci kamar belajarku. Dia tidak bisa lagi masuk untuk memainkan lagu kesukaannya. Aku puas. Ia layak diperlakukan begitu. Aku punya alasan mengapa aku jahat; karena dia telah merebut Samuelku. Makin lama, aku makin mirip para antagonis dalam cerita Cinderella. Tentu, dialah Cinderellanya.


Claudia memang merasakan perubahan dalam diriku. Dia begitu menderita, tapi dia tidak pernah marah padaku. Dia tidak mengeluh. Dia tetap berusaha baik padaku, tetap masak untukku, tetap meyapaku, tetap tersenyum padaku. Di saat aku ragu akan tindakanku, Samuel malah datang. Saat aku yang membukakan pintu, ia malah menanyakan keberadaan Claudia, bukan menanyakanku. Diam-diam aku mengamati mereka berdua. Percakapan mereka tidak terdengar, namun aku melihat tanda bahaya. Apakah mereka akan jatuh cinta? Atau sudah mengalaminya? Astaga, aku benci Claudia! Aku benci!


Semakin hari aku semakin jahat. Aku tidak mau lagi mempertimbangkan untuk lebih baik padanya, ataupun untuk memaafkannya. Jelas-jelas dia merebut Samuel dariku. Harusnya dia sadar, dia itu buta, tidak cocok untuk Samuelku. Meski dia cantik, gadis buta tetaplah gadis buta. Atau jangan-jangan... karena banyak orang yang memujinya, ia jadi tinggi hati dan lupa keadaannya sendiri? Dia lupa kalau dia mempunyai kekurangan ; kalau dia cacat? Baiklah, kalau memang begitu, akan kuingatkan dirinya.




Siasatku adalah pura-pura baik padanya, agar ia mau menerima ajakanku ke sebuah tempat yang menakutkan, ke tempat jauh yang belum pernah didatanginya. Lalu, aku berakting seakan hendak ke WC dan menyuruhnya menungguiku. Ia menggandeng tanganku erat, berkata dia akan menungguiku, sebab dia takut, sebab ini tempat yang tisak dikenalinya, sebab bisa saja ia tersesat sendirian. Padahal, itulah tujuanku yang sebenarnya!


Aku meninggalkannya, di saat dia menungguiku. Aku tiba di rumah, mandi dan mengenakan piyama. Setelah itu, pandanganku menerawang keluar jendela. Langit telah gelap. Kira-kira apa yang dilakukannya? Terus berdiri dan menunggu? Ataukah mulai menyadari kenyataan?


Perutku mendadak lapar. Aku melongok ke lemari. Biasanya ada makanan sedap buatan Claudia. Kali ini, tentu saja tidak ada. Dia kan belum pulang. Merasa hebat tanpa dirinya, aku pun menelepon jasa pengiriman makanan. Makanan akan tiba setengah jam lagi.


Aku duduk, bertopang dagu, menunggu makananku. Rumahku sepi. Tidak ada papa dan mama memang sepi. Namun biasanya, dengan adanya Claudia tidak begitu sepi. Malam ini sepi kembali. Tidak ada dentingan piano. Ah, kenapa aku terus menerus memikirkannya? Dia itu yang duluan jahat, dia pengkhianat! Kalau aku memang suka lagu yang ia mainkan, aku kan bisa membeli kaset dan mendengarkan permainan yang lebih hebat dari para pemain piano terkenal! Yah, besok kubeli.
Di luar rencana, turunlah hujan yang deras. Claudia di saat hujan, apakah akan terus menungguiku? Kalaupun tidak, dia kan buta, pasti dia tidak bisa kemana-mana tanpa tongkatnya. Aku yang di rumah saja merasa kedinginan, dia yang basah kuyup pasti jauh lebih kedinginan. Aku lapar, dia juga pasti lapar. Aku kesepian, jangankan dirinya yang sendirian .


Aneh! Kenapa terlintas ide di kepalaku untuk segera menjemputnya kembali? Hei, kan aku yang meninggalkannya, kenapa aku yang harus menjemputnya? Biarkan saja dia sendirian. Ini hukuman yang pantas untuknya!


Tapi...hatiku terus berkata bahwa ini sudah keterlaluan, terlalu kasihan untuk Claudia, sepupuku sendiri. Lagian, kalau kutinggalkan dia terus, lantas dia hilang diculik orang, bagaimana aku mempertanggungjawabkannya dengan paman dan bibi? Benar, aku rasa demi kebaikan diriku sendiri, aku harus membawanya pulang ke rumah.


Selama perjalanan, aku terus mengingatkan diriku bahwa apa yang kulakukan ini bukan karena aku sudah berubah menjadi baik. Aku belum sadar bahwa aku sudah telanjur sayang padanya. Aku tidak tahu jika perasaan itu adalah kerinduan. Aku terus meyakinkan diri kalau aku yang egois ini tidak mungkin menjadi baik dan mudah iba dengan orang lain. Hanya saja karena aku takut paman dan bibi, aku membawa Claudia pulang kembali. Ya, alasan yang cukup kuat.


Di tengah derasnya hujan, samar-samar aku mendapati keberadaan Claudia. Claudia yang tetap berdiri, Claudia yang menangis, Claudia yang tak berdaya. Belum pernah aku melihat dia seperti itu. Biasanya dia kan si buta yang hebat..
Mendadak aku teringat dengan perkataannya kemarin, “ Justru karena sulit, aku selalu berusaha tiga kali lebih keras daripada orang lain. Dengan begitu, aku bisa menjadi lebih baik dari kemampuanku yang sebenarnya.”


Claudia bukan lupa dan terbuai pujian orang, Claudia selama ini tetap sadar akan kekurangannya, makanya dia berusaha keras. Berusaha sampai berkali-kali lipat dari usaha orang lain, demi menjadi orang yang lebih baik.


Kenapa aku tidak pernah seperti dia? Tanpa berusaha, aku sudah mengaku kalah.




Setelah kalah tanpa berperang, aku mulai cemburuan. Orang yang kucemburui selalu mendapat perlakuan yang buruk dariku. Padahal orang itu tidak bersalah. Kenapa orang yang sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencapai keberhasilannya harus kucemburui?


Tiba-tiba, setumpuk pertanyaan berputar-putar di otakku. Kenapa aku harus cemburu? Kenapa aku tidak pernah berusaha? Kenapa aku bisa begitu tega? Kenapa aku begini?


Aku jadi malas memikirkannya. Aku merasa, aku pasti bukan sedang menyesal. Aku hanya...hanya terbuai suasana. Claudia yang terlalu kasihan dan bodoh, membuatku sedikit ‘kasihan’. Hanya itu.


“ Aurel, kaukah itu? ”


Aneh. Aku kan belum sempat berkata apa-apa, masa mendengar langkah kakiku saja, Claudia sudah bisa menebak, sudah bisa tersenyum lega. Seyakin itukah Claudia padaku, kalau aku benar-benar datang kembali? Tidakkah ia curiga ini langkah kaki orang lain, misalnya langkah kaki penculik?


“ Aurel, untung saja kamu sudah kembali. Aku menunggumu dari tadi!”


Claudia langsung memelukku erat sekali, ”Aku takut! Terimakasih kamu sudah kembali! Kalau tidak ada kamu, aku tidak tahu harus bagaimana lagi!”
Semalaman aku merenung. Keesokan paginya, aku memutuskan untuk berubah. Aku akan baik kepada Claudia, walaupun anggapan bahwa dia telah merebut Samuel tetap ada. Pemikiranku yang sekarang adalah ‘masih banyak lelaki lain di muka bumi ini, tapi orang sebaik Claudia semakin sedikit’. Perubahan sikapku pun terbukti saat teman-temanku datang berkunjung ke rumah. Aku tidak lagi menyuruh Claudia sembunyi. Aku tidak lagi malu saat mereka menanyakan apakah Claudia itu buta. Aku tidak lagi iri saat mereka memuji kecantikannya. Aku bahkan dengan tulus ikut memujinya.


Hebatnya lagi, aku bisa bersabar saat Samuel bersamanya. Aku sempat tidak mengenal diriku sendiri saat aku berinisiatif untuk menyeduhkan teh di tengah obrolan mereka.


“ Ini, silahkan diminum tehnya.”


“ Aurel, terima kasih.” Claudia menahan tanganku ketika aku berniat kembali ke kamar, “ Aurel, tunggu sebentar. Kalian kenalan dulu dong.”
Kenalan? Claudia mau memperkenalkanku dengan Samuel?


“ Aurel, ini temanku. Namanya Samuel. Dia sangat baik. Dia yang menolongku sewaktu aku hampir mengalami kecelakaan mobil. Sejak itu, kami berteman.”
K..kecelakaan mobil? Claudia pernah hampir kecelakaan mobil, dan aku sama sekali tidak mengetahuinya?


“ Samuel, ini sepupuku, namanya Claudia. Lihatlah, dia adalah sepupuku yang cantik, betul kan? Dia juga sangat baik. Selama liburan ini, dia telah banyak membantuku. Pernah suatu hari, dia menjemputku di tengah hujan. Aku sangat berterimakasih padanya!”


Perkataannya yang tulus, membuat Samuel tertarik untuk berkenalan denganku. Samuel menyalami tanganku, membuatku bengong. Bukan karena salamannya Samuel, tapi..barusan Claudia memujiku cantik? Astaga, dia kan buta, dia belum pernah melihatku, tapi dia dengan sangat rendah diri memujiku cantik. Dalam bayangannya, dia menganggap aku sepupunya yang cantik? Aku sangat terharu.


Malam harinya, aku mendengar suara dentingan piano yang indah dan menyejukkan hati. Aku menghampiri Claudia, memperhatikan permainannya dari dekat. Sungguh hebat, sungguh mengagumkan. Akhirnya aku paham, aku yang sekarang tidak lagi iri padanya. Aku mengubah rasa iri menjadi rasa kagum padanya. Aku kagum, sampai ingin menjadikannya sebagai teladan bagiku.
Di saat lagunya selesai, aku duduk di sampingnya. Aku mulai mencurahkan semua isi hati yang kupendam selama ini.


“ Claudia, sebenarnya dulu aku iri sekali padamu. Tapi, setelah kupikir-pikir, iri juga tidak ada gunanya. Aku tidak bisa merubah diriku menjadi dirimu.”


Claudia mengenggam kedua tanganku dengan hangat, lagi-lagi tersenyum manis, “ Apa yang kamu iri dariku? Aku terlahir buta. Aku juga banyak kekurangan lain. Aku saja sangat sedih setiap mengingat kekuranganku, tapi aku memutuskan untuk mencintai diriku sendiri. Aku terima semua pemberian Tuhan, termasuk orang-orang yang di sekelilingku, termasuk kamu Aurel! Aku sangat senang memiliki sepupu sepertimu!”


Aku juga. Aku juga sangat senang memiliki sepupu seperti Claudia. Liburan kali ini telah banyak memberikan makna hidup untukku. Hanya saja, aku menyesal tidak menyadarinya sejak awal. Di saat aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama Claudia, masa liburan kami tinggal satu minggu lagi. Satu minggu itupun kumanfaatkan dengan sangat baik.


Kini, Claudia sedang menempuh pendidikan musik di negara Austria. Ia mendapatkan beasiswa, satu-satunya perwakilan dari Indonesia. Sebelum pergi, ia memintaku untuk belajar musik juga, karena dia tahu, diam-diam aku menyukai suara dentingan piano. Dia juga berkata, hal yang terpenting dari hidup ini bukanlah mengejar kesempurnaan yang hampa, karena sebenarnya manusia tidak akan bisa sempurna.




Yang jauh lebih penting adalah semangat untuk bangkit dan mengejar mimpi. Karena dengan adanya mimpi, hidup akan terasa berarti. Aku dan Claudia memiliki mimpi yang sama. Kami ingin memainkan melodi perdamaian yang menyejukkan hati setiap orang, yaitu melalui dentingan piano...
----Selesai----

1 comment:

  1. I like this one! :D
    ceritanya sederhana tapi menyentuh.
    inspiratif :)

    ReplyDelete