Thursday, February 16, 2012

cerpen Angsa Putih

Hai ! Namaku Kelly. Kebanyakan orang mengenalku sebagai penari ballet yang paling payah, yang paling tidak bisa menari, dan yang paling ceroboh. Lantas, kenapa aku bersikeras untuk tetap menari? Jawabannya adalah…karena aku mencintai kegiatan ini dengan sepenuh hati. Perasaannya sama persis seperti bagaimana aku mencintai pacar pertamaku. Oh, ngomong-ngomong tentang pacar pertamaku, aku masih mengingat semuanya dengan jelas. Pertemuan indah itu…


Saat itu aku masih seorang gadis kecil yang sangat polos. Maklumlah, baru kelas satu SMP. Dunia 13 tahun merupakan dunia yang menarik, membuatku dan anak-anak 13 tahun lainnya seakan tersihir dalam kebahagiaan sempurna. Sampai suatu hari, aku mengalami sesuatu yang sudah sering menjadi bahan imajinasi kami. Aku…jatuh cinta pada pandangan pertama!


Cowok yang sempat mengetuk pintu hatiku itu bernama Steven. Dia tampannn sekali, membuat wajahku merona merah tiap berpapasan dengannya. Meski dia kakak kelasku yang jauh lebih senior (kelas 3 SMA) dan meskipun aku tidak mengenalnya sama sekali, aku tetap suka. Aku masih ingat susunan wajahnya yang selalu muncul dalam mimpi tidurku; matanya yang memancarkan kecerdasan, tulang hidungnya yang tinggi, serta raut-raut tegas di wajahnya.


Setiap hari, aku mulai mengamatinya dan sadar kalau aku sangat sangat menyukainya tanpa ada sebab yang jelas. Bahkan aku tidak tahan lagi untuk menyatakan perasaanku padanya. Maka, pada tanggal 14 Febuari lima tahun lalu, aku menyodorkan sebatang coklat beserta puisi romantis yang kucuri dari buku Peer kakakku.


Kalau dikenang sekarang, rasanya memang konyol. Namun tak bisa diutarakan lagi deh bagaimana tegangnya perasaanku pada detik-detik pernyataan tersebut. Aku sudah memikirkan segala kemungkinan yang bakal terjadi, sampai kemungkinan terburukpun, yaitu ditolaknya. Aku bahkan telah melatih diri untuk tidak segera menangis di depannya bila dia mengata-ngataiku, meski aku tidak yakin aku sanggup.


Siapa sangka, Hari Valentine memang merupakan hari cintaku. Pertama-tama, ia jadi bengong karena terkejut. Namun beberapa detik kemudian, ia tersenyum dan menerimanya, menjadikanku seperti roket panas yang siap meluncur ke luar angkasa. Asyik!!!


Setelah memastikan dia benar-benar menyimpan coklatku di ranselnya, aku berlari pergi tanpa berkata apapun. Aku senang, bercampur rasa malu yang luar biasa. Lain kali, bila aku berjumpa dengannya lagi, berarti dia sudah mengenalku dong? Berarti dia sudah tahu aku menyukainya dong? Ih…maluuuuuuuu!


Pada sore hari yang sulit ditebak akan terjadi apa, turunlah hujan yang deras. Aku lupa membawa payung, sehingga aku tidak bisa segera pulang. Aku menunggu dan terus menunggu hujan yang tak kunjung reda, sambil mengingat-ingat kembali peristiwa penyerahan coklat tadi. Steven…apakah setelah membaca puisiku dan memakan batang coklatku, kamu akan menyukaiku? Apakah rasa cintaku akan terbalaskan? Hm…


“ Rumah kamu dimana?”


Aku menengadah untuk melihat orang yang bertanya kepadaku barusan. Dan…astaga! Dia Steven! Kenapa dia hebat sekali, bisa muncul dalam pikiranku dan muncul di hadapanku di saat yang bersamaan?


Dengan terpatah-patah, aku memberitahukan alamat rumahku.


“ Oh…disana. Ayo, kuantar pulang!”


Dia menyuruhku mendekat ke sisinya untuk berbagi payung dengannya, membuatku senang sekali! Sepanjang perjalanan, kami tidak banyak berbicara. Ada dua alasan. Pertama, kudapati Steven orangnya memang pendiam. Kedua, hujan turun semakin deras, membuat kami harus berkonsentrasi saat berjalan. Tapi tidak apa-apa. Aku tetap senang dan bersyukur!


Keesokan harinya, aku tidak masuk sekolah karena terserang demam. Ibuku bilang pasti karena kehujanan kemarin. Tapi menurut pendapatku sendiri, aku demam pasti karena aku terlalu bahagia. Pasti karena aku terlalu bersemangat.


Lagi-lagi satu hal yang diluar dugaan terjadi padaku. Karena sakit, aku melanjutkan tidurku. Kerennya, di saat aku bangun, Steven sudah ada disampingku. Dia sudah datang dari tadi, hanya saja dia tidak tega membangunkanku. Pantas tidurku nyenyak sekali, rupanya ditemani oleh ‘si dia’ !


Steven bilang dia tidak melihatku di sekolah hari ini, maka dia khawatir apakah aku jatuh sakit. Dia hapal alamat rumahku, dan dia langsung menjengukku sepulang sekolah. Mendengar kata-katanya, aku sangat terharu. Aku tidak tahu apakah aku yang terlalu geer atau memang benar… kalau dia perhatian padaku.


Tiga jam berlalu. Steven terus menemaniku. Kami ngobrol lebih banyak dibanding saat hujan kemarin…dan aku jadi lebih banyak mengenalnya. Dia sangat baik, terus mengupasiku buah-buahan, menyuapiku bubur, dan mengkompres keningku dengan air dingin. Dia selalu memperlakukanku seperti anak kecil. Setiap aku membuatnya tertawa, dia akan mengelus-elus kepalaku. Dia juga terus membetulkan letak selimutku bila aku bergerak sedikit saja.


Sebelum dia pulang, aku memberanikan diri untuk mengajaknya berkencan, tapi secara tersirat. Aku tidak memberitahu langsung kepadanya kalau itu ajakan kencan, aku hanya bertanya apakah dia ada waktu Sabtu ini untuk menemaniku bermain di pantai. Dengan mudahnya, dia mengangguk, sambil bercanda,” Asal kamu sudah baikan. Aku tidak mau loh menemani orang sakit bermain ke pantai!”


Hari Sabtunya, aku benar-benar sembuh, dan benar-benar pergi ke pantai bersamanya. Kami menggelar tikar, berenang bersama, bermain pasir, dan makan seafood yang lezat.




Lalu, dalam perjalanan pulang, kami tertidur bersama, dengan kepala menimpa satu sama lain. Seingatku, saat itu aku tidak tidur. Aku hanya pura-pura tidur supaya Steven nyaman menaruh kepalanya di kepalaku. Jika tidak, dia pasti segan. Hihi. Sampai sekarang, dia tidak sadar loh kalau aku berpura-pura.


Kami semakin sering bersama, dan semakin akrab, tanpa status yang jelas. Dia tidak pernah bilang kalau dia pacarku atau apa. Dan akupun hanya memanggilnya Kakak. Padahal, aku ingin sekali tahu bagaimana perasaannya terhadapku. Kebanyakan teman-temanku yang berpacaran pasti tampak mesra. Sedangkan aku, hanya diperlakukan selayaknya anak kecil. Apakah aku memang seorang anak kecil di matanya? Apakah dia tidak tahu, betapa aku ingin segera tumbuh menjadi gadis dewasa agar setara dengannya?


Yang membuatku tidak tahan adalah kemunculan dua gadis jahat dalam hubungan kami. Yah, mereka jahat karena mereka menyukai Steven dan berusaha merebutnya dariku. Mereka teman sekelas Steven, yang berarti mereka seusia dengannya. Mereka lebih dewasa dibandingkanku. Dan aku benci sekali untuk mengakui kalau mereka terlihat lebih cocok jalan bareng Steven. Steven juga menyebalkan! Kenapa dia selalu terlihat ceria saat ngobrol dengan mereka? Kenapa keceriaan Steven kini menjadi milik mereka, bukan milikku lagi?


Merasa kalah, aku mulai menjauh dari Steven. Aku tidak lagi mengekorinya seperti dulu. Aku merasa, aku tidaklah berarti untuknya. Mungkin, dia hanya kasihan padaku, telah begitu berani memberikannya coklat, dan dia hanya menghargai usahaku.


Steven menyadari perubahan sikapku. Berkali-kali dia menemuiku, tapi selalu kutolak. Lalu suatu hari, dia nekat menungguiku terus. Dari pagi sampai malam, dia berdiri di depan rumahku. Aku sampai tidak tega dan keluar menemuinya. Steven tahu aku membohonginya dengan beribu alasan. Dia memaksaku untuk berkata jujur. Akhirnya, aku mencurahkan seluruh kecemasan hatiku padanya. Sambil menangis, kukatakan betapa aku berharap adanya hubungan yang jelas di antara kami berdua.


Dengan tatapan lembut, dia mendengar semuanya. Kemudian, dia mengeluarkan saputangan, membantu menyeka air mataku yang terus bercucuran. Dan secara tegas ia menjelaskan padaku,” Kelly..di saat aku datang menjengukmu, ibumu telah memperingatkanku bahwa kamu baru diizinkan berpacaran setelah berumur 20 tahun. Aku menghormatimu ibumu, maka aku tidak mau melawannya. Kamu masih 13..”


Ha? Benarkah karena ibu? Ternyata ibu diam-diam telah memperingatinya. Tapi…aku masih penasaran, apakah itu hanya alasan semata? Apakah tanpa peringatan ibuku, dia mau memacariku?


“ Tidak…”


Eh? Dia menjawab tidak? J…jahat! Sungguh jahat!


“ Karena aku sendiri merasa kamu masih belum siap. Aku suka padamu, tapi aku tidak mau membebanimu dengan perasaan itu. Belum saatnya, Kelly..”


“ Tapi 20 tahun masih lama sekali! Aku tidak mau menunggu selama itu!”


“ Hm..kudiskon sampai…kamu sudah cukup dewasa untuk kupacari. Jadi, selagi kamu menuju tahap dewasamu, hubungan kita tetap seperti dulu.”


Baiklah, hubungan kami kembali seperti dulu. Dalam mengisi hari-hari menuju kedewasaanku, Steven mengajariku banyak sekali hal yang belum pernah kusadari sebelumnya.


Pada dasarnya, kami berasal dari latar belakang yang jauh berbeda. Dia sudah kehilangan sosok ayahnya sebelum ia lahir, sedangkan aku sangat dimanja orangtuaku. Maka, aku tidak pernah mengerti arti menjadi mandiri dan bertanggungjawab. Ia terbiasa mencari uang sendiri, sedangkan aku kelewat boros.




Dengan adanya perbedaan-perbedaan itu, aku telah banyak mengintropeksi diri.


Waktu berlalu dengan cepat. Saat itu, dia akan segera tamat. Aku sangat sedih kehilangan dirinya. Aku ingin memberikannya sesuatu yang berarti, yang bisa mengingatkannya pada diriku. Aku tahu, ia tidak suka dibelikan barang-barang mewah, maka aku memutuskan untuk melukisnya saja.




Aku memoles kanvas dengan raut-raut wajah tegasnya, dan menggunakan warna paling pas untuk sorot matanya. Aku tidak hanya melukis wajahnya, namun keseluruhan dirinya yang sedang mengenakan seragam biru polisi. Aku tahu, menjadi polisi yang bisa menciptakan keadilan adalah impian terbesar dalam hidupnya, seperti aku mengimpikan menjadi penari ballet handal.


Steven tampak terharu saat menerima kado perpisahanku. Dia bilang itu adalah kado terindah yang pernah ia dapatkan, kado yang menampakan dirinya dalam masa mendatang. Ia menyalamiku dan berjanji untuk muncul kembali padaku di saat ia benar-benar mengenakan seragam itu.


Semenjak momen itu, kami tidak pernah bertemu lagi, juga tidak pernah saling kontak lagi akibat kesibukan masing-masing. Diam-diam aku merindukannya dan berharap: semoga saja, suatu hari nanti ia akan datang untuk menepati janjinya…semoga saja, dia masih ingat janjinya…


“ Kelly, bukan begitu gerakannya! Kenapa sih hari ini kamu tidak serius?!”


Aduh, aku bukannya tidak serius, bu guru. Aku juga kecewa terhadap diriku sendiri.




Masa setelah berlatih sebulan penuh, aku mendadak gugup dan lupa segalanya. Padahal, aku yang memilih tarian angsa putih tersebut, yang menurutku amatlah romantis. Gerakan ini seharusnya mampu menunjukkan ekspresi angsa putih yang telah tumbuh dewasa, sekilas cemerlang dalam kecantikannya, namun di dalam hatinya terpendam kerinduan, kenangan, dan harapan. .


“ Kelly, giliranmu! Ayo, keluarlah, dan jadilah yang terbaik! “


Aku berusaha untuk tetap tenang selama dituntun bu guru menuju atas panggung.




Hari ini diadakan lomba ballet antarsekolah. Aku ingin menang. Tapi, aku tidak bisa mengendalikan ketakutanku. Jantungku berdegup terlalu kencang, membuatku kehilangan emosi menari. Lubuk hati terdalamku terus memanggil nama Steven. Aku ingin dia datang menyaksikan tarian ini, menyemangatiku. Kalau saja dia datang, aku pasti bisa. Karena aku adalah seekor angsa putih, yang menunggu, menunggu dan terus menunggu sang belahan hati untuk datang menjemput.


Dan…aku melihatnya! Aku tidak percaya! Aku melihat Steven duduk di bangku penonton paling depan, ia mengenakan seragam biru polisi! Dia tersenyum padaku.




Dia melambai-lambaikan tangannya padaku. Dia membuatku menari dengan sangat baik malam itu, melebihi penampilan manapun selama ini. Dia benar-benar telah menjadikanku sebagai angsa putih primadonanya!


Karena kehadirannya, aku mampu memenangkan perlombaan ini. Ibu guru saja tidak menyangka. Ibu guru dan teman-teman lain terus menerus mengucapkan selamat kepadaku. Namun, di tengah ucapan selamat mereka, aku mengharapkan sesuatu.




Aku mengharapkan…orang itu…datang mengucapkan selamat padaku secara langsung.


DRIET…


Suara pintu berderit di belakangku. Aku yang sedang sibuk melepaskan hiasan rambutpun bela-belain untuk menoleh, “ Steven!”


Sambil tersenyum kecil, Steven masuk, dan menutup pintu kamar rias kembali. Tangannya memeluk seikat bunga mawar yang romantis. Wah! Steven memang sudah banyak berubah. Dulu, dia tidak pernah seperti ini.


Kelly selamat yah! Aku bangga padamu!”


Ia menyerahkan bunga yang dibawanya ke genggamanku. Sebaliknya, ia mengambil sisir yang sedang kupegang, dan menyisir rambutku. Sentuhan tangannya…sungguh lembut di kepalaku. Setiap helai rambutku-pun turut merasakan ketulusan hatinya…


“ Steven, tahu tidak, tarianku tadi sengaja kupersembahkan untukmu! Angsa putih yang jatuh cinta. Angsa putihnya adalah aku. Orang yang dicintainya adalah kamu..”


Lagi-lagi aku memberanikan diri, seperti enam tahun yang lalu Setelah mengucapkannya, aku kembali malu. Bagaimana ini? Berarti dia sudah tahu semuanya..


Wajahnya semakin mendekat. Kedua matanya bahkan tepat memandang ke dalam jendela jiwaku. Suaranya pelan seperti bisikan yang berhembus, “ Angsa putih…apakah dia sudah cukup umur untuk kupacari?”


“ Sudah! Tahun ini, angsa putih sudah 18 tahun!”


“ Benarkah begitu?” Wajahnya semakin mendekat lagi dan kurasakan bibirnya menyentuh bibirku..


Akhirnya setelah enam tahun menunggu, angsa putih bisa resmi berpacaran dengan


pangerannya! Hihi..

__TAMAT__



No comments:

Post a Comment